TEMPO.CO, Surakarta - Pimpinan Pusat Muhammadiyah belum menyikapi terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang melegalkan tindakan aborsi pada korban kekerasan seksual. (Baca: Cendekiawan NU Ingatkan Multitafsir Darurat Aborsi)
"Muhammadiyah belum menggelar kajian tentang aturan itu," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, saat ditemui di Solo, Kamis, 21 Agustus 2014. Dia berjanji Muhammadiyah secepatnya mengkaji aturan yang banyak menuai kontroversi tersebut.
Kajian terhadap Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi itu juga akan melibatkan PP Aisyiyah. "Aisyiyah justru akan banyak berperan," katanya. Sebab, munculnya peraturan tersebut memang lebih banyak ditujukan untuk kepentingan perempuan. (Baca: LPSK: Aborsi Hak Korban)
Din juga enggan menanggapi pernyataan sejumlah kalangan bahwa aturan aborsi yang ada dalam peraturan pemerintah itu sudah sejalan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia. "Saya harus mempelajari fatwanya dulu," katanya. Din beralasan bahwa fatwa itu terbit sebelum dia menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. (Baca: Ulama Menentang PP Aborsi)
Munculnya Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi itu merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Aturan itu bertujuan agar perempuan mendapat layanan kesehatan sehingga bisa hidup sehat, melahirkan generasi sehat dan bermutu, serta mengurangi angka kematian ibu. (Baca: PP Aborsi, IDI: Jangan Sampai Jadi Ranjau)
Dalam salah satu pasalnya, aturan itu memperbolehkan aborsi bagi korban perkosaan dan alasan kedaruratan medis.