Petani dan Nelayan Kritik Gaya Bicara Monoton SBY
Editor
Maria Rita Hasugian
Senin, 9 Juni 2014 03:45 WIB
TEMPO.CO, Malang - Ini merupakan catatan suasana saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato membuka pelaksanaan Pekan Nasional XIV Kontak Tani Nelayan Andalan di Stadion Kanjuruhan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Sabtu sore, 7 Juni 2014.
Sewaktu memasuki tempat acara, SBY masih disambut meriah ribuan petani dan nelayan, yang menurut Gubernur Jawa Timur Soekarwo berjumlah 37 ribu orang. Selain menduduki kursi-kursi di empat tenda besar, ribuan peserta dari seluruh Indonesia duduk di semua tribun stadion yang menjadi kandang tim sepak bola Arema Cronus itu. (Baca: SBY: Kebutuhan Meningkat, Kuatkan Ketahanan Pangan)
Bahkan ratusan peserta berlarian mendekati sisi kanan dan kiri panggung utama. Mereka memanfaatkan kesempatan itu untuk memotret SBY dan istri, juga rombongan yang duduk di panggung. Mereka memotret dengan kamera atau dengan kamera di gadget.
SBY dan istri yang berbatik biru khas warna Partai Demokrat tampak tenang dan senang. Namun personel Pasukan Pengamanan Presiden yang berdiri di dua sisi panggung kewalahan dan memanggil rekan-rekannya untuk menertibkan peserta. Ratusan peserta duduk di rerumputan dan sabar menanti rangkaian acara seremonial.
Saat SBY berdiri di podium dan hendak berpidato tentang ketahanan pangan, sejumlah peserta nyeletuk dengan mengatakan bahwa mereka sudah hafal gestur dan gaya pidato presiden keenam itu, terutama saat SBY menggerak-gerakkan tangan dengan jari terkepal atau menyorongkan lima jari yang terbuka untuk memberi penekanan pada bagian penting isi pidatonya.
"Gerakan tangan Pak SBY saat pidato begitu-begitu saja sehingga pidato jadi berkesan monoton, walau saya akui penampilan serta isi pidato dan tutur bahasa Pak SBY memang sangat bagus," kata seorang peserta dari Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.
"Kenapa Pak SBY tak bisa rileks saat pidato? Wajahnya selalu serius. Gayanya sama saja dengan yang di TV-TV. Kami orang di luar Pulau Jawa lebih suka pemimpin yang berpidato dengan gaya Sukarno, Habibie, dan Gus Dur, to the point saja, tapi tetap bisa santai dan lucu," kata Nasir, peserta dari Pekanbaru, Riau.
Komentar senada disampaikan peserta dari Sorong (Papua Barat) dan Aceh Utara. Mereka kemudian membandingkan gaya berpidato SBY dengan Gubernur Soekarwo alias Pakde Karwo, yang menurut mereka lebih efektif dan menarik. Saat memberi sambutan sebelum SBY berpidato, dalam gaya Jawa Timuran, Soekarwo sering melontarkan candaan yang membuat ribuan peserta tertawa.
Bagi mereka, Soekarwo berhasil memaparkan isi pidatonya dalam bahasa yang lugas sehingga lebih gampang dimengerti dan tak membosankan. Gaya Soekarwo pun lebih merakyat. Mereka mencontohkan saat Soekarwo menjelaskan proses persiapan Pekan Nasional kepada SBY. Gubernur Jawa Timur itu menyebutkan jumlah peserta sebanyak 37 ribu dan sebagian ditampung di 9.400 rumah warga setempat dengan biaya hidup Rp 50 ribu per hari. Selebihnya mencari penginapan di Kota Malang. Total ada biaya Rp 28,5 miliar yang dikeluarkan. "Namun Pak Presiden, ada Rp 350 miliar yang dihasilkan dari kegiatan ini," katanya.
<!--more-->
"Dengan 37 ribu peserta dari seluruh Indonesia, Penas (Pekan Nasional) ini terbilang berhasil. Penjual makanan laris, pendapatan masyarakat Malang meningkat. Karena itu, saya minta pada Pak Win (Ketua Umum KTNA Winarno Tohir) kalau boleh KTNA ke-15 digelar di Jawa Timur lagi," kata Soekarwo dalam nada lucu yang disambut gemuruh tawa.
Soekarwo juga dinilai komunikatif. Agar suasana menjadi lebih cair dan riang, secara spontan dan dengan mimik muka lucu, Ketua Partai Demokrat Jawa Timur itu beberapa kali meminta peserta bertepuk tangan. Peserta tak hanya menuruti permintaannya, tapi juga jadi tertawa. "Nanti, kalau acara sudah selesai, peserta jangan pulang dulu, belanja dulu di Malang," ujar Soekarwo tertawa.
Suasana berbeda terlihat saat SBY berpidato. Banyak peserta yang berfoto bersama atau ber-selfie ria, seperti yang Tempo lihat di sisi kanan panggung, tepatnya di dekat tiang gawang. Mereka bahkan tertawa-tawa keras sampai seorang personel keamanan yang berbatik lengan panjang dengan ramah meminta mereka duduk dan diam.
Sedangkan ratusan peserta di barisan belakang dalam tenda besar asyik berbincang. Ada yang tertidur pulas. Sebagian dari mereka merokok. Bahkan seorang peserta dari Sulawesi Utara yang duduk di barian terdepan, di sebelah peserta dari Kalimantan Timur yang berpakaian adat Dayak, dengan seenaknya membuang puntung rokok di rumput, persis di depan mata dua petugas keamanan dan disaksikan banyak wartawan. Keruan saja seorang petugas memungut puntung rokok dan menasihati pria berbatik hijau itu.
Namun ribuan peserta sempat terdiam dan tertegun saat SBY menyampaikan salam perpisahan. SBY menyatakan masa tugasnya tinggal 4,5 bulan lagi, sehingga kehadirannya pada Pekan Nasional ini merupakan yang terakhir baginya sebagai presiden. Untuk itu SBY mengingatkan semua petani dan nelayan agar aktif menyukseskan pelaksanaan pemilihan umum presiden dan mendukung siapa pun presiden terpilih.
"Karena empat setengah bulan lagi saya akan mengakhiri masa tugas sebagai Presiden RI. Saya mendoakan, memohon pada Allah, agar kesejahteraan para petani, nelayan, dan petani hutan semakin baik," kata SBY pada akhir pidatonya. Suasana sempat hening sampai akhirnya gemuruh tepuk tangan terdengar, bahkan banyak peserta bertepuk tangan sambil berdiri. (Baca: SBY Minta Presiden Mendatang Cinta Petani-Nelayan)
Kalimat perpisahan itu diapresiasi positif banyak peserta. Soekirman, Bupati Serdang Bedagai, Sumatera Utara, misalnya, menilai momentum pamitan SBY sangat tepat. Dalam pidato sepanjang hampir 30 menit itu, SBY tidak banyak mengumbar cerita sukses maupun terkesan mengarahkan peserta untuk mendukung salah satu calon presiden.
ABDI PURMONO
Terpopuler:
Mahasiswa Jatuh dari Lantai 4 Akhirnya Meninggal
NU Solo Kebanjiran Pertanyaan tentang Agama Jokowi
Jokowi Sindir Prabowo untuk Mempertegas Perbedaan