Petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menunjukan salah satu produk kosmetik ternama yang telah dipalsukan dan mengandung bahan berbahaya di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Jumat (15/2). Bahan-bahan berbahaya yang dapat mengakibatkan kanker pada kulit digunakan pada kosmetik ini. TEMPO/Aditya Herlambang Putra
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM) mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam membeli obat dan kosmetik secara online. Khususnya, bila situs belanja online tersebut tak berafiliasi langsung dengan perusahaan yang bisa dipercaya.
“Itu virtual dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ada yang kita selidiki dan ketemu fisiknya, tapi kadang menghilang," kata Kepala Pusat Informasi Obat dan Makanan BPOM Reri Indriyani, Selasa, 20 Mei 2014.
Hal ini berdasarkan data pertumbuhan peredaran obat ilegal yang sudah sangat mengkhawatirkan, bahkan diperkirakan melampaui seribu persen dari tahun sebelumnya. Pada 2013, ada 830 jenis obat ilegal yang ditemukan BPOM. Angka itu melonjak bila dibanding temuan tahun sebelumnya, yakni 2011 dan 2012, yang masing-masing 57 dan 60 jenis. (Baca: Ini Dia Tiga Merek ObatIlegal Produksi Bandung)
Reri menyayangkan peredaran obat dan kosmetik ilegal ini. Sebab, selain lewat perdagangan online, peredarannya juga sudah melalui apotek. Karena itu, BPOM tengah memperkuat kerja sama dengan ikatan pengelola apotek untuk mencegah peredaran obat dan kosmetik ilegal lebih luas lagi. (Baca: 13 Jenis Obat Palsu Beredar di Pasar)
Sementara itu, Ketua Masyarakat Indonesia Anti-pemalsuan Widyaretna Buenastuti mengatakan pihaknya bekerja sama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia untuk melakukan segmentasi pasar pengguna produk palsu. Salah satu hasilnya adalah kosmetik ilegal biasa diburu pembantu rumah tangga, sedangkan produk farmasi ilegal diincar rata-rata oleh para pembeli tanpa resep dokter.
"Rata-rata penggunaan produk palsu dan ilegal ini meningat dari tahun ke tahun," tutur Widyaretna. Terus naiknya peredaran obat dan kosmetik ilegal ini juga disebabkan ketidaktahuan konsumen dan sikap penjual yang mengelabui konsumen akan produk yang serupa tapi tak sama.
Pada Juli 2016, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa vaksin pertama untuk mencegah demam berdarah tersedia untuk masyarakat di seluruh dunia yang berusia 9 sampai 60 tahun. Ini berita baik bagi Indonesia, tempat demam berdarah mempengaruhi lebih dari 120 ribu orang dengan beban biaya US$ 323 juta (sekitar Rp 4,3 triliun) setiap tahun.