Terdakwa kasus dugaan suap pengurusan sengketa Pilkada yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar saat menjalani sidang perdana pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta (20/2). Akil Mochtar didakwa menerima suap hingga Rp 57,78 miliar ditambah USD 500 ribu terkait pengurusan belasan sengketa pilkada di MK dengan ancaman hukuman tertinggi 20 tahun penjara. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menolak nota keberatan (eksepsi) yang diajukan bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang didakwa menerima suap, gratifikasi, dan melakukan pencucian uang. Ketua majelis hakim Suwidya mengatakan nota keberatan Akil yang menyatakan surat dakwaan penuntut umum tak cermat tidaklah benar karena penyusunannya sudah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
"Secara formal dakwaan yang disusun sudah secara benar sehingga tidak dapat dikatakan obscuur libel (samar-samar). Eksepsi terdakwa yang diajukan bersama-sama penasihat hukumnya tidak cukup alasan untuk dikabulkan sehingga eksepsi tidak dapat diterima," kata Suwidya saat membacakan putusan sela di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis, 13 Maret 2014.
Kerena tidak dapat diterima, ujar dia, perkara Akil harus dilanjutkan hingga putusan akhir. "Pengadilan Tipikor berwenang memeriksa dan mengadili seluruh dakwaan yang diajukan penuntut umum," kata Suwidya.
Dari lima hakim yang terdiri dari Suwidya, Gosen Butar-Butar, Matheus Samiaji, Sofialdi, dan Alexander Marwata, terdapat satu hakim menyatakan dissenting opinion (beda pendapat). Perbedaan pendapat tersebut dikemukakan Sofialdi tentang dakwaan kelima dan keenam, yakni mengenai tindak pidana pencucian uang soal kewenangan penyidik.
Sofialdi sepakat dengan keberatan penasihat hukum Akil bahwa berdasarkan UU Nomor 30/2002 tidak ada kata satu pun yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap perkara TPPU. Demikian juga dengan UU Nomor 15/2002 yang telah diubah dengan UU Nomor 25/2003. "Berdasarkan pertimbangan di atas, KPK tidak berwenang melakukan penyidikan atas TPPU," ujar Sofialdi.
Selain itu, Sofialdi menyoroti jawaban atas eksepsi oleh penuntut umum KPK yang menyebutkan penuntut umum di KPK dan Kejaksaan Agung adalah satu-kesatuan. "Ini keliru karena pengangkatan dan pemberhentian merupakan kewenangan KPK sehingga penyidikan TPPU oleh KPK tidak punya legitimasi. Penyusunan tersebut tidak berdasar pertimbangan hukum sehingga harus ditolak," ujarnya.