Terdakwa kasus dugaan suap pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Gunung Mas, Chairun Nisa saat menjalani sidang perdana pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta (8/1). Chairun Nisa diancam hukuman maksimal 20 tahun penjara. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa kasus suap penanganan perkara sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi, Chairun Nisa, mengaku membantu Bupati Gunung Mas terpilih, Hambit Bintih. Politikus Golkar tersebut berupaya agar MK menolak gugatan perkara sengketa pilkada kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah itu, yang diajukan oleh lawan Hambit.
"(Saya) Diminta Pak Hambit untuk membantu," katanya usai sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 13 Januari 2014.
Meski demikian, Chairun Nisa menolak mengungkapkan bagaimana ia berkomunikasi dengan Akil Mochtar--waktu itu Ketua MK--untuk mengurus sengkata pilkada tersebut. Ia juga mengatakan sebelumnya tak pernah mengurus kasus di lembaga tersebut. "Tidak, tidak pernah," ujarnya.
Gugatan diajukan oleh dua pasang calon Bupati Gunung Mas lawan Hambit, yakni Jaya Samaya Monong-Daldin dan Afridel Jinu-Ude Arnold Pisy. Mereka meminta agar Akil bersama dua anGgota panel konstitusi, yaitu Maria Farida dan Anwar Usman, menyatakan keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah yang menetapkan Hambit dan pasangannya, Arton S. Dohong, sebagai Bupati dan Wakil Bupati Gunung Mas terpilih dibatalkan.
Atas perbuatan itu, jaksa mendakwa Chairun Nisa dengan pasal 12 huruf c atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ia terancam dihukum pidana empat hingga 20 tahun penjara dan denda Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.