Pada 18 Juli, Panitera Kasianur Sidauruk menyurati Kementerian Dalam Negeri. Isinya, atas perintah Ketua Mahkamah, pelantikan Yan-Supriono mesti ditunda, menunggu “permasalahan dalam penyelenggaraan pilkada tersebut dapat diselesaikan sesuai ketentuan hukum yang berlaku”. Layang itu ditembuskan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banyuasin serta Komisi Pemilihan Umum Banyuasin.
Komisi Pemilihan Banyuasin meminta klarifikasi kepada Akil tentang kebenaran surat itu pada 22 Juli. Empat hari kemudian, Akil menerbitkan jawaban yang menegaskan kebenaran surat terdahulu.
Surat 18 Juli itu aneh karena putusan Mahkamah mesti dijalankan. Tak ada lagi jalan perlawanan hukum buat mengubahnya, termasuk penundaan eksekusi. Kejanggalan lain: surat dikirim ke DPRD Banyuasin bukan lewat pos, melainkan ditenteng Muhtar Efendy.
Muhtar sebelumnya diduga mendatangi Yan Anton diantar seorang pejabat Banyuasin dan Bupati Empat Lawang Budi Antoni Ajufri. Kepada Yan, Muhtar mengaku sebagai kerabat Akil Mochtar. Ia menawarkan jasa untuk pengawalan perkara di Mahkamah. “Kalau tak diurus, Yan bisa kalah di MK,” kata narasumber yang mengetahui pertemuan itu. Imbalannya, ia meminta Rp 10 miliar.
Untuk meyakinkan calon “klien”-nya, Muhtar menunjukkan prestasinya. Salah satunya, sengketa pemilihan Wali Kota Palembang. “Itu Palembang bisa menang karena saya bantu,” ujar Muhtar. Di Palembang, calon wali kota Romi Herton yang kalah delapan suara dari pesaingnya, Sarimuda, berbalik unggul 27 suara setelah Mahkamah memerintahkan penghitungan ulang. Kuasa hukum Romi Herton, Ari Yusuf Amir, membantah kliennya menggunakan jasa makelar kasus di Mahkamah.
BS
Berita Terpopuler:
Vicky Prasetyo Senang Bisa Meng-Islam-kan Corrien
Wah, Wali Kota Airin Dalam Incaran KPK
Uang Rp 2,7 Miliar Bukti Suap Baru Akil Mochtar
Kasus Pelecehan Seksual di SMP 4 karena Kepolosan
Marzuki Alie: Ada Duit Suap ke Kongres Demokrat