Bripda Primasari Dewi diwawancarai sejumlah media saat memberi penyuluhan kepada pengemudi becak dan warga di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, (1/9). Penjualan jamu oleh Polwan ini merupakan bagian dari peringatan HUT Polwan ke 64 dan mensosialisasikan slogan "JAMU" atau Jaga Dirimu dari narkoba dan tindak kejahatan. TEMPO/Suryo Wibowo
TEMPO.CO, Jakarta - Polisi wanita atau polwan Indonesia memiliki sejarah panjang sejak awal kemerdekaan republik ini. Keberadaan polwan dipicu perlunya penanganan khusus untuk kasus yang berkaitan dengan perempuan dan anak-anak.
Polwan di Indonesia lahir pada 1 September 1948. Ketika itu, pemerintah darurat Republik Indonesia di Kota Bukittinggi harus menangani arus pengungsian besar-besaran akibat agresi militer Belanda.
Pengungsian besar-besaran itu berpotensi menimbulkan masalah jika ada penyusup atau kriminal di antara pengungsi yang masuk ke wilayah-wilayah yang dikuasai republik. Sayangnya, pengungsi perempuan menolak digeledah oleh polisi pria.
Pemerintah Indonesia lalu meminta Sekolah Polisi Negara di Bukittinggi untuk membuka pendidikan inspektur polisi bagi kaum Hawa.
Setelah melalui seleksi ketat, terpilihlah enam gadis remaja yang kesemuanya berasal dari ranah Minang. Mereka adalah Mariana Saanin Mufti, Nelly Pauna Situmorang, Rosmalina Pramono, Dahniar Sukotjo, Djasmainar Husein, dan Rosnalia Taher.
Keenam gadis remaja ini secara resmi mulai mengikuti Pendidikan Inspektur Polisi di SPN Bukittinggi pada 1 September 1948. Tanggal itulah yang belakangan dinyatakan sebagai hari lahirnya polisi wanita.
Keenam polwan angkatan pertama tersebut juga tercatat sebagai wanita ABRI pertama di Tanah Air. Kini mereka semua sudah pensiun dengan rata-rata berpangkat kolonel polisi (kombes). Baca Edisi Khusus Polwan Jelita di sini.