Menurutnya, penyelenggaraan festival bertema batik selalu menarik minat seseorang untuk berkunjung ke Surakarta. Sebagai salah satu produk unggulan sekaligus ikon, batik akan selalu dicari untuk buah tangan atau digunakan sendiri. “Akhir-akhir ini pembeli saya dari luar kota,” ujarnya.
Nani lebih banyak menjual beragam tas bermotif batik dengan harga Rp 5 ribu - Rp 75 ribu. Dengan banyaknya pembeli, maka omzetnya naik menjadi Rp 8 juta - Rp 10 juta. “Kalau hari-hari biasa, dalam sebulan dapatnya Rp 5 juta - Rp 6 juta,” katanya.
Penjual batik lainnya, Yuyun Setyowati mengungkapkan hal serupa. Penyelenggaraan acara-acara yang mengangkat batik menjadikan penjualan baju batiknya meningkat 50 persen. “Kalau di hari biasa hanya dapat Rp 200 ribu, maka saat ini menjadi Rp 300-500 ribu per hari,” ujarnya.
Dia menjual batik tulis dengan harga Rp 190-200 ribu dan kombinasi batik tulis dengan batik cap yang dihargai rata-rata Rp 150 ribu. “Juga ada batik printing yang kami jual Rp 50 ribu - Rp 70 ribu,” ujarnya. Karena banyaknya pembelian, Yuyun harus menyediakan stok yang lebih banyak. “Sekarang kami punya stok 100 potong. Kalau sebelumnya hanya 50 buah,” katanya.
Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan Alpha Febela Priyatmono menilai penyelenggaraan festival bertema batik tidak memberi pengaruh signifikan terhadap penjualan batik. “Penjualan batik memang meningkat sekitar 20 persen. Tapi bukan semata-mata karena ada festival,” katanya.
Menurutnya, yang mendorong naiknya pembelian karena saat ini masa-masa liburan sehingga banyak orang yang datang ke Surakarta untuk berlibur dan membeli batik. “Itu yang dikatakan teman-teman di Laweyan,” ujarnya.
Meski demikian, dia tetap menghargai adanya festival bertema batik karena turut menjaga eksistensi keberadaan batik. “Dan sudah menjadi alat promosi kepada masyarakat di luar Solo,” ujarnya.
UKKY PRIMARTANTYO