"Memang kita terima uang dari bantuan asing antara lain USAID, AUSAID, Global Fund di Jenewa, dan the International Union Against Tuberculosis and Lung Disease," ujar Sudibyo sat dihubungi Tempo melalui telepon, Selasa (16/3).
Dana sebesar itu, lanjut Sudibyo, digunakan untuk membangun komitmen bersama untuk menciptakan udara yang sehat. Selain itu lembaganya juga menggunakan bantuan tersebut untuk advokasi publik untuk perundang-undangan yang pro terhadap udara sehat.
Hal itu diungkapkan Sudibyo, menanggapi isu tak sedap yang mengatakan Muhammadiyah menerima uang sebesar Rp 3,6 Milyar dari Bloomberg Initiative untuk mengeluarkan fatwa haram rokok.
Sudibyo menegaskan lembaganya sama sekali tidak mengenal Bloomberg Initiative. Menurut dia, Muhammadiyah menerima dana sebesar Rp 3,6 milyar dari the International Union Against Tuberculosis and Lung Disease, sebuah lembaga yang serius memerangi penyakit tuberkulosis dan paru berlokasi di Paris.
Lebih lanjut, Sudibyo mengatakan majelis Tarjih yang mengurusi fatwa adalah terpisah dari divisi kesehatan yang dia pimpin. Majelis Tarjih, tambah dia, tidak pernah mendapatkan uang untuk menerbitkan fatwa haram rokok. "Tidak ada logikanya fatwa dibayar," pungkas dia.
Proses penyusunan fatwa adalah kegiatan rutin tahunan Muhammadiyah. Kegiatan ini melibatkan 20 orang dari Majelis Tarjih dengan biaya minimal. "Cukup dibiayai dengan satu kilo gula dan kopi untuk begadang," ujar dia.
Kesadaran menciptakan udara bersih, tambah dia, adalah amanat dari Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang. "Silahkan baca UUD 1945 Pasal 28H, UU Hak Azasi Manusia Ayat 9, dan UU Kesehatan Pasal 113."
Dengan fatwa haram merokok, Sudobyo optimistis bisa melindungi generasi muda dari bahaya asap rokok dan kecenderungan mengkonsumsi rokok. "85 juta generasi muda Indonesia bisa terselamatkan dengan fatwa haram rokok," ungkapnya yakin.
ANTON WILLIAM