TEMPO.CO, Lumajang - Suhari Joko Prawiro, 82 tahun tampak termenung sejenak ketika melihat kabar di televisi yang menyiarkan berita peningkatan status aktivitas Gunung Agung, Bali, Jumat pagi, 22 September 2017. Kenangan warga Kelurahan Jogoyudan, Kecamatan Lumajang, Kabupaten Lumajang itu melambung jauh ke belakang, 54 tahun lalu.
Sang istri, Rr Sutarsih, 75 tahun, yang tengah menyeduh wedang kopi di dapur warung nasi tak urung ikut mengomentari berita di televisi. "Gunung Agung meletus ya. Dulu juga pernah meletus sekitar tahun 1963," kata Sutarsih membuyarkan konsentrasi sang suami yang sedang menonton berita di televisi itu.
Belum banyak pelanggan yang datang di warung sederhana yang berada persis di depan rumah pasangan suami istri. Hanya TEMPO dan dua orang lain yang juga memesan segelas kopi hitam dan teh panas manis.
Dengan agak tertatih, perempuan tua berdarah ningrat itu kemudian membawa keluar kopi pahit pesanan seorang pelanggannya ke meja dekat sang suaminya yang kemudian meneruskan ke meja pelanggannya.
"Gunung Agung pernah meletus pada 1963. Pada tahun itu kami menikah," kata Sutarsih yang juga didengarkan sang suami. Suhari Joko Prawiro yang biasa disapa Hari kemudian bercerita kalau Lumajang juga pernah merasakan guyuran abu letusan Gunung Agung sekitar Maret 1963.
Sang istri lebih ingat dibanding sang suami ihwal hari dan tanggal mereka melangsungkan ijab kabul perkawinan mereka. "Hari itu Ahad, 17 Maret 1963," kata Sutarsih yang sudah kembali berada di dapur warungnya. Hari hanya mengingat bahwa dia menikah dengan istrinya pada Maret 1963. Pada pagi di hari perkawinannya itu, langit tampak gelap seperti mendung. Abu kemudian berjatuhan dari atas langit yang seperti mendung itu.
Hingga menjelang siang saat itu, ketika Hari bersama rombongan keluarganya hendak berangkat ke rumah calon istrinya untuk mengucapkan ikrar perkawinan dalam ijab kabul, abu tetap berjatuhan dari langit. "Mobil sedan yang akan kami kendarai seperti terlapiai abu tebal. Jadinya ya harus kami bersihkan terlebih dulu," kata Hari ditemui TEMPO di warungnya itu.
Saat itu, Hari belum tahu darimana abu yang mengguyur Lumajang di hari perkawinannya itu. Baru beberapa kemudian, Hari mendengar kabar bahwa hujan abu tersebut berasal dari letusan Gunung Agung. Situasi mendung itu terjadi sekitar sepekan. Kendati demikian, warga setempat tidak begitu panik. "Warga hanya bingung karena keadaan dalam rumah gelap meskipun siang hari," kata Hari. Saat itu, masih jarang rumah yang teraliri listrik. "Sebagian besar rumah warga walaupun di dalam kota, masih menggunakan lampu petromak untuk menerangi ruangan," kata Hari.
Mendung gelap disertai guyuran abu masih terjadi hingga saat resepsi pernikahan berlangsung pada sore harinya. "Meskipun semua berjalan lancar, kejadian guyuran abu tersebut sedikit banyak mengganggu juga," kata Hari.
Di hari-hari ketika abu Gunung Agung menghujani Lumajang, warga harus membersihkan atap dan teras rumah mereka. Bahkan, tak sedikit juga yang mengumpulkan abu Gunung Agung itu untuk campuran bahan bangunan. "Mereka mengumpulkan abu dan memasukkannya ke dalam karung-karung," kata Hari.
Hari tidak menyangka kalau di hari perkawinannya itu, hujan abu melanda. Hari mengatakan kalau dia telah mengajukan cuti untuk menikah. "Sejak 1958 SK Pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil keluar, saya ditugaskan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Sumenep," katanya. Karena melangsungkan perkawinan, kemudian dia mengajukan cuti sekitar sepekan untuk kemudian pulang ke Lumajang dan menikah.
"Setelah itu saya boyong istri saya ke Sumenep," kata Hari. Jadi, dia tidak berlama-lama juga merasakan guyuran hujan abu Gunung Agung di Lumajang. Sepekan setelah hari perkawinannya, Hari langsung pulang kembali ke Sumenep. Hari baru pulang ke Lumajang setelah pensiun dari PNS.
Sejak Senin lalu pukul 21.00 Wita, PVMBG menaikkan status Gunung Agung. Status yang awalnya waspada menjadi siaga (level III). Perubahan status gunung setinggi 3.142 meter di atas permukaan laut itu sesuai dengan hasil analisis data visual dan instrumental serta mempertimbangkan potensi ancaman bahaya.
Gunung Agung terakhir meletus pada 1963. Saat itu, letusan berlangsung selama hampir setahun, yaitu 18 Februari 1963 hingga 27 Januari 1964. Letusan tersebut menelan banyak korban jiwa, yakni 1.148 orang meninggal dan 296 mengalami luka-luka.
DAVID PRIYASIDHARTA