TEMPO.CO, Balikpapan- Kepolisian Daerah Kalimantan Timur meningkatkan kewaspadaan menyusul aksi teror bom Kampung Melayu Jakarta. Aparat intelejen disiagakan mewaspadai perilaku mantan pelaku teror yang bermukim di wilayahnya. “Kami tingkatkan kewaspadaan pengamanan di seluruh Kaltim dan Kaltara,” kata Kepala Polda Kaltim, Inspektur Jenderal Safaruddin, Kamis, 25 Mei 2017.
Safaruddin mengatakan, polisi sudah memegang data para mantan pelaku teror yang berdomisili di kota/kabupaten di Kaltim. Mayoritas diantaranya sudah mulai berbaur serta menjalankan aktifitasnya bersama masyarakat setempat. “Kami tahu ada beberapa mantan pelaku teror yang berdomisili di Kaltim. Kami perintahkan pengawasan dan kewaspadaan,” ujarnya, tanpa menyebutkan nama mantan pelaku aksi teror di Kaltim.
Baca juga:
Bom Kampung Melayu, Pakar UI: Targetnya Memecah Belah Bangsa
Polda Kaltim memerintahkan unsur resor kepolisian memantau kembali mantan aksi teror di wilayahnya masing masing. Menurut Safaruddin, Polisi tidak boleh kecolongan mengantisipasi aksi teror yang bisa memberikan rasa takut bagi masyarakat."
Selain itu, Safaruddin juga meminta peningkatan pengamanan sejumlah obyek vital, sarana ibadah hingga lokasi berkumpulnya masyarakat. Aksi teror bom di Jakarta tidak boleh merembet ke kota lain jelang tibanya bulan suci Ramadan. “Polisi harus terus meningkatkan kewaspadaanya. Memang diantara korban adalah personil polisi, semoga amal ibadahnya diterima Tuhan Yang Maha Esa,” ujarnya.
Baca pula:
Bom Kampung Melayu, Jokowi: Keterlaluan!
Dalam dua tahun terakhir, Polisi mengamankan beberapa tersangka pelaku aksi teror di dua kota Kaltim yakni Balikpapan dan Samarinda. Kasus pertama saat Detasemen Khusus 88 menangkap Fajrun bin Slan, warga Ambon di Perumahan Herr I, Jalan Swadaya 1, RT 24, Balikpapan.
Fajrun ditangkap berselang sehari saat Jakarta dihantui aksi teror bom di Plasa Sarinah.
Polisi langsung menahan Fajrun, yang disebut-sebut sering bepergian ke Poso. Polisi juga menyita sejumlah barang bukti aksi teror, seperti pupuk, bubuk mesiu, laptop, iPad, buku seruan jihad, amunisi, selongsong peluru, parang, samurai, dan ratusan paku.
Densus 88 memimpin aksi penangkapan Fajrun di rumah mertuanya. Polda Kaltim hanya membantu agar proses penangkapan tersangka berjalan lancar. Sosok Fajrun terbilang misterius di kalangan tetangganya. Tidak ada satu pun yang mengenal guru mengaji di Masjid Al-Ikhwan, Balikpapan Baru, tersebut. Tetangganya hanya mengenal Fajrun sebagai menantu Nurjamal.
Dia tidak pernah memperkenalkan namanya kepada tetangga sekitar.
Silakan baca:
Bom Kampung Melayu, Jokowi: Kejar Pelaku Hingga ke Akarnya
Selanjutnya, aksi teror juga kembali terjadi dimana lokasi tempat kejadian perkara di Samarinda, akhir tahun 2016 lalu. Seorang residivis teror, Juhanda alias Joh alias Jo Bin Muhammad Aceng Kurnia (32 tahun) melempar bom molotov ke Gereja Oikumene Sengkotek Samarinda.
Kronologis kejadian saat pelaksanaan ibadah Minggu di Gereja Oikumene Sengkotek Samarinda. Saat itu, sedang berlangsung ibadah umat kristiani dimana sejumlah jemaah berada di area parkir kendaraan.
Bersamaan waktunya, seorang pria mengenakan kaos hitam bertuliskan kata jihad melemparkan satu bungkusan yang belakangan diketahui sebagai bom molotov. Bom berdaya ledak rendah ini meledak hingga membakar empat korban yakni Intan Olivia (2,5 tahun), Alvaro Aurelius Tristan Sinaga (4 tahun), Triniti Hutahaya (3 tahun) dan Anita Kristobel (2 tahun).
Sesaat bom meledak, pelaku langsung melarikan diri dengan menerjuni Sungai Mahakam yang lokasi berseberangan gereja. Warga sekitar lokasi kejadian sempat menangkap serta memukuli pelaku sebelum diserahkan ke Polsek Samarinda Seberang.
Pelaku diketahui bernama Juhanda merupakan residivis aksi teror bom buku Puspitek Tangerang pada 2012 silam. Dia sempat menjalani hukuman penjara selama 3,5 tahun dan bebas bersyarat pada tahun 2014 silam.
Juhanda merupakan anggota kelompok pelaku teror bom buku Puspitek yang dipimpin Pepi Fernando. Pepi Fernando divonis hukuman penjara 18 tahun pada awal Maret 2012.
Aksi bom Gereja Oikumene merupakan kasus teror pertama kali terjadi di wilayah Samarinda. Sebelumnya, Ibu Kota Provinsi Kaltim ini terbilang jauh dari berbagai kasus kasus aksi radikalisme dan teror di Indonesia.
SG WIBISONO