INFO PURWAKARTA - Seratusan pegiat masalah toleransi yang berasal dari 25 negara hadir dalam acara World Tolerance Conference (WTC) yang digelar pada Senin-Rabu, 22-24 Mei 2017. Melihat kondisi langsung, para peserta mengapresiasi langkah dan kebijakan yang telah diterapkan Pemerintah Kabupaten Purwakarta dalam merawat keberagaman dan kebersamaan antarumat beragama.
Wakil Duta Besar Azerbaijan, Ruslan Nasibov, menyampaikan keinginannya mempelajari toleransi di Purwakarta. “Saya sangat senang karena Purwakarta sangat toleran. Dan saya mau belajar mengenai toleransi dan keberagaman itu,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Duta Besar Kazakhstan, Gamzat Khaerov, mengatakan Purwakarta mengalami perubahan yang sangat pesat dalam toleransi kebudayaan, keberagaman, dan kerukunan antarumat beragama. “Kami akan share dengan kondisi toleransi yang ada di Kazakhstan dan di Indonesia,” ujar Gamzat. Ia menilai, pada intinya, toleransi di semua negara di dunia itu sama, yakni persamaan hak. “Persamaan hak membuat orang harmonis dan cinta damai,” tuturnya.
Anand Khrisna yang hadir sebagai pembicara dalam WTC Purwakarta mengatakan perbedaan itu selalu ada. “Tapi kita harus saling mengapresiasi,” ujarnya. Dalam sejarah di mana pun, kata dia, isu agama itu selalu muncul. “Banyak yang lain yang kemudian mengulangi hal sama,” ujar Anand. Namun persoalan toleransi saat ini ranahnya sudah bergeser ke persoalan politik, status ekonomi, dan pendidikan.
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengatakan Konferensi Toleransi Dunia yang dihelat atas dasar inisiatif para mahasiswa dan pemuda Purwakarta yang sekolah, kuliah, dan bekerja di luar negeri yang peduli terhadap toleransi, itu sangat membantu pemerintah menyampaikan kehidupan bertoleransi bukan cuma di Purwakarta, Jawa Barat, melainkan Indonesia.
Baca Juga:
Menurut Dedi, pengelolaan toleransi di Purwakarta dan Indonesia sebenarnya tak pernah ada masalah. Contohnya, ketika keenam agama resmi yang sekarang hidup secara berdampingan di Indonesia, saat awal masuk di Indonesia tak pernah dipertentangkan. Dedi menegaskan tumbuhnya intoleransi di Indonesia belakangan ini lebih disebabkan oleh persoalan politik dan kekuasaan.
Dedi sempat berbagi pengalaman dalam upaya memupuk toleransi sejak dini. Anak-anak pelajar di Purwakarta, misalnya, diajari toleransi sejak SDm di mana di setiap sekolah, anak-anak yang berbeda agama, bebas melakukan ibadah. “Yang Islam kami siapkan masjid atau musala, yang Katolik dan Protestan ada gereja kecil, yang Buddha ada wihara dan Hindu serta Kong Hu Cu ada kuil kecilnya. Semua mendapatkan hak dan perlakuan sama, termasuk para guru rohaninya," tutur Dedi. (*)