TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah mengatakan penolakan praperadilan Miryam S Haryani menunjukkan keinginan DPR untuk mengajukan hak angket terhadap KPK semakin tak relevan.
"Semoga putusan praperadilan ini bisa memperjelas apa yang diminta Komisi III dalam hak angket sehingga clear bahwa bukti-bukti hanya bisa dibuka dalam proses penyidikan dan persidangan," kata Febri Diansyah di gedung KPK Jakarta, Selasa, 23 Mei 2017.
Baca juga: Hak Angket KPK, Baleg: Belum Ada Permintaan Tafsir Anggota Pansus
Pada hari ini, Selasa, 23 Mei 2017, hakim tunggal Asiadi Sembiring di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan KPK yang menetapkaan Miryam S Haryani sebagai tersangka berdasarkan surat perintah penyidikan nomor Sprin.Dik-28/01/04/2017 sudah sesuai dengan prosedur dan telah memenuhi ketentuan minimal dua alat bukti sehingga harus dinyatakan sah dan berdasar hukum.
"Terkait putusan praperadilan di PN Jaksel yang dimohonkan tersangka MSH (Miryam S Haryani), kami apresiasi apa yang diputuskan. Kami baca pertimbangkan hakim, salah satunya disebutkan bukti-bukti seperti BAP dan rekaman sidang adalah bukti yang diakui hakim sehingga penyidikan itu sudah memenuhi 2 alat bukti," ujar Febri menambahkan.
KPK juga menilai bahwa penolakan tersebut makin menguatkan bukti-bukti yang dimiliki KPK dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan e-KTP di Kementerian Dalam Negeri.
Simak pula: Pansus Hak Angket KPK, Taufik Kurniawan: Semua Fraksi Harus Ikut
"Bukan hanya penting untuk kasus MSH yang disangkakan memberikan keterangan tidak benar di pengadilan, tapi juga e-KTP karena kasus ini tidak terpisahkan. MSH adalah salah satu saksi e-KTP yang awalnya memberikan informasi terkait ada beberapa orang yang mendapatkan aliran dana e-KTP maka putusan ini cukup penting karena menegaskan bukti-bukti rekaman dalam penyidikan dan persidangan merupakan alat bukti yang hanya dibuka saat penyidikan dan persidangan," jelas Febri.
Padahal salah satu alasan anggota Komisi III mengajukan hak angket terhadap KPK adalah kesaksian penyidik kasus tersebut Novel Baswedan yang mengatakan Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR. "Sehingga bukti-bukti seperti rekaman tidak bisa dibuka dalam proses politik seperti yang diminta Komisi III," ungkap Febri.
Dalam pertimbangannya, hakim tunggal Asiadi mengatakan soal barang bukti yang diajukan KPK berupa surat dan video pemeriksaan Miryam saat menjadi saksi telah memenuhi dua bukti permulaan yang cukup.
Lihat juga: Hak Angket KPK, Pimpinan DPR Tunggu Keputusan Fraksi
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III pada Rabu, 19 April 2017 dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi Pemerintahan DPR dari Fraksi Partai Hanura di luar persidangan terkait kasus e-KTP.
Pada sidang dugaan korupsi KTP-E pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran e-KTP.
Nama-nama anggota Komisi III itu menurut Novel adalah Ketua Komisi III dari Fraksi Golkar Bambang Soesatyo; Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa; anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura Sarifuddin Suding; anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu; anggota Komisi III dari Fraksi Golkar Azis Syamsuddin; dan satu orang lagi yang Novel lupa namanya.
ANTARA