TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok Amnesty International mengecam vonis penjara 2 tahun yang diberikan hakim kepada Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Selasa 9 Mei 2017 atau kemarin. Mereka menilai pidato Ahok yang menyinggung surat Al Maidah: 51 akhir September 2017 lalu telah dimanipulasi untuk tujuan politik dalam pemilihan kepala daerah lalu.
“Vonis bersalah dan pemenjaraan terhadap Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama justru akan menodai reputasi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang toleran,” kata Champa Patel, Direktur Asia Tenggara dan Pasifik Amnesty International. (Baca: Soal Vonis Ahok, Luhut: Terbukti Pemerintah Tak Ikut Campur)
Ahli hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti, juga menilai ada hal yang menjadi persoalan mendasar atas vonis yang dijatuhkan kepada Ahok, sapaan Basuki, kemarin. Pasal penistaan agama, termasuk Pasal 156 dan 156a KUHP seperti yang menjerat Basuki, dianggapnya tak mesti ada lagi dalam dalam hukum nasional. “Menurut saya, dengan penggunaan pasal itu saja, sebetulnya sudah bermasalah,” ujar dia, Selasa 9 Mei 2017.
Ahok divonis bersalah atas tuduhan penistaan agama dalam pidatonya di Kepulauan Seribu pada September lalu. Majelis hakim yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto menjerat Ahok dengan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)—dakwaan alternatif pertama. Dianggap terbukti menistai agama Islam secara sengaja, berulang dan di depan umum, Ahok divonis dengan hukuman pidana penjara 2 tahun dan diperintahkan agar ditahan. (Baca: Ahok Divonis 2 Tahun Penjara, Ruhut: Ahok Orang yang Tegar)
Presiden Joko Widodo, dalam pernyataan tertulis yang dibagikannya dari kunjungan kerja di Provinsi Papua kemarin, meminta proses hukum yang sudah berjalan tersebut dihormati. “Yang paling penting kita semua percaya terhadap mekanisme hukum yang ada,” kata dia.
Presiden Jokowi menambahkan, hukum telah dikedepankan untuk menyelesaikan perbedaan pandangan dalam perkara yang menjerat Ahok tersebut. Satu yang menjadi catatan, kata presiden, pemerintah tidak bisa mengintervensi proses hukum yang ada.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, menyatakan percaya tak ada campur tangan atau intervensi pemerintah seperti yang disebutkan Presiden. Tekan-menekan, kata dia, hanya terjadi antar-pendukung sehingga hakim aman untuk bersikap independen. “Sikap pemerintah ini bagus untuk pembangunan hukum ke depan,” ujar Mahfud. (Baca: Vonis Ahok Lebih Berat daripada Tuntutan, Ini Tanggapan Jaksa)
Dia juga menganggap wajar putusan majelis hakim yang memvonis Ahok 2 tahun penjara
Menurut dia, hakim sah keluar dari pasal tuntutan jaksa asalkan masih sesuai dengan dakwaan. Dalam perkara Ahok, jaksa mendakwa dengan Pasal 156a dan Pasal 156 KUHP. Tapi, saat pembacaan tuntutan, jaksa menggunakan pasal 156 karena menganggap Ahok tak terbukti menistakan agama. Ahok dituntut dipenjara 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun. “Akhir-akhir ini juga banyak kasus yang vonisnya jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa.”
Ahli pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakir, malah menganggap vonis penjara 2 tahun sudah menjadi standar hakim dalam kasus-kasus penodaan agama. Ia mencontohkan dalam perkara Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). “Dua tahun itu batas terendah,” kata Mudzakir.
Secara terpisah, juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Hasoloan Sianturi, mengatakan kelima anggota majelis hakim bulat memutus Ahok bersalah. “Seperti yang saya dengar, tidak ada dissenting (pendapat berbeda),” kata dia. (Baca: Ahok Ditahan di Cipinang, Ini Kejanggalan Vonis Penistaan Agama)
MAYA AYU | IRSYAN H | ADITYA BUDIMAN | LARISSA HUDA
Video Terkait:
Jalan Panjang Vonis Ahok