TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menegaskan bahwa pemerintah tak sewenang-wenang mengambil keputusan membubarkan organisasi masyarakat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Upaya pembubaran itu akan melalui prosedur hukum.
"Sudah jelas bahwa kami membubarkan tentu dengan langkah hukum, karena itu nanti ada proses kepada satu lembaga peradilan," ujar Wiranto saat jumpa pers di kantornya, Jakarta Pusat, Senin, 8 Mei 2017. Wiranto belum menjelaskan proses hukum seperti apa yang akan diambil pemerintah. Wiranto hanya menekankan bahwa pembubaran itu diperlukan untuk mencegah berkembangnya ancaman terhadap keutuhan bangsa.
Rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia menuai kontraversi. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Sulawesi Selatan Kemal Idris mempertanyakan keputusan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto yang mengusulkan pembubaran HTI.
Baca: Polri Siapkan Data Pelanggaran Hizbut Tahrir Indonesia
"Kami masih mengkaji keputusan Menko Polhukam (soal pembubaran HTI) dan ini akan kami pertanyakan mengapa tak ada proses hukum sesuai UU Ormas," kata Kemal kepada Tempo, Senin 8 Mei 2017. Menurut Kemal, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sudah jelas sebagai dasar berorganisasi.
Adapun, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, pemerintah tak bisa langsung menjatuhkan sanksi pembubaran atau pencabutan status badan hukum ormas yang diduga melanggar hukum. Pemerintah harus mengikuti mekanisme yang diatur dalam Pasal 60 hingga 80.
Berikut ini mekanisme tahapan berdasarkan pasal tersebut:
Pasal 60 ayat (2) Pemerintah harus melakukan upaya persuasif sebelum menjatuhkan sanksi administratif.
Pasal 61 dan 62 Sanksi administratif diberikan secara bertahap, yaitu peringatan pertama, kedua, dan ketiga. Setiap surat peringatan berlaku selama 30 hari. Jika tak ada respons positif dari ormas, pemerintah baru bisa mengeluarkan surat peringatan berikutnya.
Pasal 64 Setelah peringatan ketiga, pemerintah bisa menjatuhkan sanksi administratif berupa penghentian dana bantuan atau hibah. Jika ormas tak pernah menerima hibah, pemerintah dapat memberikan sanksi penghentian kegiatan.
Pasal 65 ayat (1) dan (2) Sanksi penghentian sementara terhadap ormas tingkat nasional harus melalui pertimbangan Mahkamah Agung.
Pasal 65 ayat (3) Sedangkan penghentian sementara ormas tingkat daerah harus melalui pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, kejaksaan, dan kepolisian setingkatnya.
Pasal 66 Sanksi penghentian kegiatan sementara hanya berlaku maksimal enam bulan.
Pasal 68 Pemerintah bisa menjatuhkan sanksi terakhir, yaitu pencabutan status badan hukum, jika ormas tersebut tetap melakukan pelanggaran hukum. Pencabutan status badan hukum ditempuh pemerintah yang diwakili Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan mengajukan gugatan ke pengadilan.
Pasal 70 Pengadilan menetapkan waktu sidang maksimal lima hari setelah menerima pengajuan gugatan.
Pasal 71 Hakim harus menjatuhkan putusan maksimal 60 hari setelah waktu pendaftaran gugatan. Persidangan dapat diperpanjang 20 hari jika mendapat pertimbangan dari Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 72-79 Putusan pengadilan negeri dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hakim akan mengambil putusan kasasi maksimal 60 hari setelah pendaftaran perkara. Salinannya harus diterima ormas maksimal 20 hari setelah putusan kasasi.
Pasal 69 Pemerintah bisa mengeksekusi pembubaran dan pencabutan status badan hukum 30 hari setelah putusan inkracht.
FRANSISCO ROSARIANS
Video Terkait:
Mahasiswa dan Organisasi Pemuda di Banten Tuntut Bubarkan HTI