TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat melanjutkan rapat kerja dengan Komisi Pemberantasan Korupsi yang sempat diskors kemarin malam, Senin, 17 April 2017. Dalam rapat yang berlangsung malam ini, Selasa, 18 April 2017, DPR kembali menyoroti soal adanya permasalahan di internal KPK.
Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya, KPK tidak mengenal istilah egaliter. Sebab, bila ada bawah yang membantah atasannya maka disebut pembangkangan.
Baca: KPK Cabut Surat Peringatan Novel Baswedan
"Saya lihat di Undang-Undang tentang KPK tidak ada kata-kata egaliter. Dalam pergaulan egaliter, ya. Tapi, dalam tugas tidak dikenal egaliter adanya hirarki struktural," kata dia di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 18 April 2017.
Masinton pun mempertanyakan ketegasan pimpinan KPK dalam mewujudkan kepatuhan hukum di internal mereka. Ia juga meminta agar KPK menunjukkan SOP yang ada di lembaganya. "Saya ingin dijelaskan pentingnya pengawasan ketat dari atasan ke bawahan," ujarnya.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan konflik internal telah selesai. "Bahkan sekarang lebih baik lagi situasinya," ucapnya.
Simak pula: Busyro: Porsi Penyidik Independen di KPK Harus Lebih Besar
Menurut Syarif, jabatan KPK memang hirarki. Namun, KPK juga memelihara budaya egaliter untuk menerapkan check and balances di institusinya. "Agar kami berlima tidak bisa sembarangan menyuruh orang," kata dia.
Syarif menuturkan pimpinan KPK memang berkuasa. Tiap satuan di KPK bisa bekerja bila telah mendapatkan persetujuan dari pimpinan. "Tapi untuk membuka diskusi yang baik, penyidik muda bisa men-challenge saya kalau saya salah bicara. Semua demi kebijakan," tuturnya.
Konflik internal di KPK mencuat kala tersebar kabar salah seorang penyidiknya, Novel Baswedan, mendapatkan surat peringatan kedua (SP2) dari pimpinan. Hal ini memicu protes keras dari eksternal KPK hingga akhirnya SP2 itu dicabut.
AHMAD FAIZ