TEMPO.CO, Cirebon - Ketua DPRD Kabupaten Cirebon memerintahkan Badan Kehormatan (BK) menindaklanjuti dugaan kasus pemukulan terhadap seorang pegawai negeri sipil (PNS) di RSUD Arjawinangun. Ketua DPRD Kabupaten Cirebon Mustofa berjanji tak akan mencampuri penanganan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian. “Kami sudah menerima surat laporannya kemarin,” kata Mustofa, Rabu, 19 Oktober 2016. Karenanya
Badan Kehormatan mulai hari ini akan bekerja untuk melakukan klarifikasi dan verifikasi terhadap pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan ini. “Selanjutnya hasil klarifikasi dan verifikasi dari BK dilaporkan kepada pimpinan DPRD,” kata Mustofa.
Seorang PNS di RSUD Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Rakhmat Hidayat diduga dianiaya seorang anggota DPRD Kabupaten Cirebon berinisial YS, Jumat, 7 Oktober 2016 lalu. Penganiayaan berawal saat YS bermaksud menagih kekurangan uang dalam penerimaan tenaga kontrak rumah sakit (TKRS) Arjawinangun 2016.
Rakhmat mengakui jika dirinya masih berutang Rp 10 juta dari total uang setoran TKRS sebesar Rp 100 juta. Rakhmat bermaksud melunasinya dengan cara meminjam dari kas RSUD Arjawinangun. Namun belum sempat membayar, YS tiba-tiba datang marah-marah dan memukul Rakhmat.
Rakhmat menyatakan titip menitip dalam penerimaan pegawai kontrak sudah biasa. “Itu sudah jadi rahasia umum,” kata Rakhmat. Rakhmat pun ikut ambil bagian sebagai perantara dalam praktek tersebut. Ini dilakukannya dalam penerimaan pegawai kontrak di rumah sakit Arjawinangun 2016.
Selama 2016 menurut Rakhmat pihak RSUD Arjawinangun membuka kesempatan bagi 208 tenaga kontrak untuk sejumlah posisi. Mulai dari bidan, perawat, pengemudi ambulance dan lainnya. Penerimaan pegawai tersebut dibagi dalam 6 gelombang. Seharusnya setiap calon tenaga kontrak wajib menempuh mekanisme rektruitmen yang resmi. “Diantaranya mengikuti tes tertulis, wawancaran dan tes bebas narkoba,” kata Rakhmat.
Namun dari 6 gelombang penerimaan tenaga kontrak hanya pada gelombang pertama saja prosedur resmi ditempuh. Sedangkan pada gelombang kedua hingga keenam, penerimaan tenaga kontrak dilakukan ‘lewat jalan belakang’. Untuk bisa lolos, semua calon pegawai harus mengeluarkan mahar. “Besar kecilnya mahar tergantung tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan,” kata Rakhmat. Namun saat gelombang pertama menurut Rakhmat tetap berlaku titip menitip tersebut. Rakhmat bahkan mengaku memasukkan 5 tenaga kontrak di gelombang pertama tersebut.
Rakhmat mengaku didatangi calon tenaga kontrak yang meminta untuk dibantu agar bisa diterima. Dirinya kemudian mencari tahu orang-orang yang dekat dengan Bupati Cirebon, Sunjaya Purwadisastra.
Bahkan menurut Rakhmat sudah menjadi rahasia umum jika praktek suap itu bermuara pada sejumlah pejabat di Kabupaten Cirebon tersebut. “Saya kemudian meminta bantuan kepada anggota DPRD Kabupaten Cirebon, YS,” kata Rakhmat. Ia pun menyetorkan uang mahar dari para calon tenaga kontrak yang dibantunya sebesar Rp 50 juta/orang kepada YS.
Saat Rakhmat membantu lima orang calon tenaga kontrak gelombang pertama, tidak terjadi masalah apa pun. Kelimanya pun saat ini telah diterima bekerja. Namun masalah muncul saat Rakhmat membatu dua orang calon tenaga kontrak pada gelombang ketiga. Pasalnya dari mahar sebesar Rp 100 juta yang disetorkan kedua calon TKRS trsebut, Rakhmat hanya menyetorkan Rp 90 juta. Sisanya sebesar Rp 10 juta dipinjamnya terlebih dahulu untuk kepentingan pribadinya. YS kemudian menagih dan terjadilah dugaan penganiyaan tersebut.
Rakhmat mengaku sudah melaporkan kasus tersebut ke Polres Cirebon. Ia tak akan mencabut laporannya sekalipun banyak menerima tekanan.
Sementara itu Kasatreskrim Polres Cirebon, AKP Sigit Bayu Rahayudi, mengungkapkan jika polisi sejauh ini masih berfokus pada kasus dugaan penganiyaan yang dilaporkan korban Rakhmat Hidayat. “Sedangkan untuk dugaan kasus suap hingga kini belum ada laporan resminya,” kata Sigit.
IVANSYAH