TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu tidak mempermasalahkan jika TNI memiliki hak politik kembali. Namun, kata dia, hak itu bukan politik praktis karena Ryamizard khawatir dapat menimbulkan perselisihan di internal TNI.
Ryamizard menjelaskan, hak politik simbolik itu bisa saja seperti mengembalikannya di Majelis Permusyawaratan Rakyat. "Saya setuju kalau kayak dulu. Tapi tidak ketika politik praktis," ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin, 10 Oktober 2016.
TNI, lanjut dia, juga tidak akan bisa mempunyai hak politik praktis dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Menurut Ryamizard, lebih baik semua pihak melihat apakah sistem berpolitik Indonesia sudah matang atau belum.
Baca: Tak Bisa Ungkap Kasus Munir, Kontras:Jokowi Jangan Maju Lagi
Apalagi, Ryamizard menambahkan, saat ini suara partai masih terbagi dan khawatir TNI ikut pecah jika partai terpecah. "Saya tidak mau TNI berpolitik, karena kondisi saat ini belum matang berpolitiknya," ujarnya.
Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan anggota TNI seperti warga asing saja karena tidak memiliki hak politik. Menurut Gatot, masyarakat belum bisa menerima TNI yang dianggap mudah dominan dalam persaingan politik. "Bayangkan saja kalau kampanye pakai senjata. Jadi, belum siap. Mungkin sepuluh tahun mendatang. Saya paham karena kami organisasi bersenjata," ujarnya, Selasa, 4 Oktober 2016.
Baca: Minta Dilindungi Jokowi, Gatot Akan Bongkar Jaringan Ini
Namun, belakangan Gatot mengatakan TNI harus netral. Menurut dia, TNI bertugas untuk menjaga keamanan negara dan politik TNI adalah politik negara. "Sudah saya sampaikan bahwa berbagai lapisan UU mengatakan bahwa politik TNI adalah politik negara," ujarnya.
MAWARDAH NUR HANIFIYANI