TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, mengajukan kontra argumen dalam sidang uji materi terhadap Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah Pasal 70 ayat 3 mengenai cuti selama masa kampanye, yang digugat oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
"Saya juga insya Allah maju calon gubernur, merasa juga berkepentingan. Karena jika (gugatan) dikabulkan tanpa memperhatikan kontra pihak argumen, maka saya pikir akan merugikan hak konstitusional saya yang dijamin UUD 1945," kata Yusril di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis, 15 September 2016.
Baca:
Refly Harun Yakin Ahok Menang Uji Materi di Mahkamah Konstitusi
Uji Materi, Ahok Bandingkan Jabatan Gubernur dengan Presiden
Sidang Uji Materi UU Pilkada, Ahok Kembali Didampingi Rian
Dalam argumennya, Yusril menerangkan, kata 'harus' yang pernah disinggung Ahok dalam petitumnya agar Mahkamah Konstitusi menafsirkan kewajiban cuti bagi seorang kepala daerah petahana selama masa kampanye.
Yusril menuturkan, kata 'harus' dalam bunyi pasal memiliki perbedaan arti dengan hukum fikih yang merupakan terjemahan dari mubah atau jaiz dalam bahasa Arab, yang bermakna norma yang bersifat netral, yaitu jika dikerjakan mendapat pahala, jika ditinggalkan tidak dosa.
Dalam perumusan norma hukum di Indonesia, Yusril menjelaskan kata 'harus' adalah padanan kata yang sama artinya dengan wajib dalam fikih. "Wajib dalam fikih artinya satu suruhan akan dapat pahala jika dikerjakan, dosa jika tidak dikerjakan," kata dia.
Kata 'harus' dan 'wajib' dalam norma imperative, ujar Yusril, adalah sesuatu yang mesti dikerjakan dan akan dikenakan sanksi jika melanggar. Tapi, dia melanjutkan, aparat hukum bisa menimbang sanksi yang pantas dijatuhkan.
Komisi Pemilihan Umum, kata Yusril, dapat saja menerbitkan peraturan pelaksana jika petahana tidak siap melaksanakan cuti. "Berarti calon petahana tidak memenuhi syarat untuk pilkada," ujarnya.
Sanksi dalam hukum fikih, menurut dia, digolongkan ta'zir. Ada norma dalam al-Quran maupun hadist yang mengharamkan sesuatu tapi tidak menyebutkan sanksi pada orang yang melanggarnya. Yusril memberi contoh, meminum alkohol, berjudi, dan makan babi yang diharamkan tapi tidak ada sanksinya.
"Jika tidak ada sanksi maka hakimlah berijtihad menafsir. Hukuman apa yang pantas diberikan pada orang yang terbukti minum minuman keras, judi, dan makan babi. Putusan hakim jadi yurisprudensi dalam hukum Islam," ucapnya.
Atas dasar itu, Yusil menegaskan bahwa norma dalam Pasal 70 Ayat 3 Huruf a sudah terang benderang bahwa kepala daerah petahana yang mencalonkan kembali di daerah yang sama, wajib menjalani cuti selama masa kampanye. "Ini bukan hasil dari penafsiran sebagaimana dipahami pemohon."
FRISKI RIANA