TEMPO.CO, Jakarta - PT National Sago Prima (NSP) kecewa dengan putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan gugatan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Hakim menyatakan PT NSP bertanggungjawab atas kebakaran yang terjadi di lahan mereka seluas 3.000 hektare di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.
Perusahaan diminta memberi ganti rugi Rp 319 miliar dan membayar biaya pemulihan Rp 753 miliar. “Perusahaan akan mengajukan banding,” ujar Kuasa Hukum NSP, Rofik Sungkar, saat dihubungi, Jumat, 12 Agustus 2016.
Rofik menilai majelis tidak mempertimbangkan keterangan saksi dan bukti-bukti yang diajukan perusahaan di persidangan. “Selama persidangan nggak terbukti juga kalau kita yang bakar, jadi tidak terbukti itu terjadi karena kesalahan kita.”
Terlebih, katanya, pemerintah daerah menyatakan bahwa kebakaran yang terjadi di Kabupaten Meranti, termasuk di lahan milik NSP sebagai bencana alam. “Dalam undang-undang kalau itu bencana alam tidak ada yang bisa disalahkan,” ujarnya.
Salah satu hakim yakni Nursyam, membenarkan bahwa penyebab bencana alam tak bisa dikenakan hukuman. “Cuma masalahnya mereka tutup mata,” kata Rofik lagi. Sehingga, pihaknya menilai ada kejanggalan dari keputusan majelis hakim tersebut.
Namun pendapat pengacara ini dibantah Fajri Fadhillah, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Dia merujuk pada penjelasan tentang bencana menurut teori dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, serta sesuai dengan doktrin hukum perdata.
"Peristiwa kebakaran hutan dan lahan dapat dikategorikan sebagai bencana alam jika tidak dapat diperkirakan, bersifat luar biasa dan tidak adanya kontribusi manusia," katanya.
Padahal ketiga hal tersebut, ujarnya, tidak disebutkan dalam SK Bupati Kepulauan Meranti tentang Status Siaga Bencana Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
Menurut Fajri, jika PT NSP mengajukan banding, maka kekeliruan dalam dissenting opinion oleh hakim Nursyam harus benar-benar diperhatikan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta di tingkat banding.
Salah satu dalil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku penggugat yang diterima majelis hakim adalah bahwa PT NSP (tergugat) terbukti tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai dalam pengendalian dan pencegahan kebakaran lahan.
Majelis hakim juga menolak pembelaan tergugat yang menyatakan bahwa sumber api yang membakar konsesi usahanya berasal dari pihak ketiga. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa tergugat tetap bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran lahan di dalam konsesinya meskipun sumber api berasal dari pihak ketiga.
Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur ICEL, menyatakan bahwa pertimbangan hakim sangat penting mengingat sering sekali tergugat dalam perkara kebakaran hutan atau lahan menggunakan dalih atau pembelaan mengenai api yang bersumber dari lahan masyarakat atau disebabkan oleh perbuatan pihak ketiga.
Pembelaan semacam itu digunakan PT. Bumi Mekar Hijau (PT. BMH) dan PT. Jatim Jaya Perkasa (PT. JJP). “Pertimbangan majelis hakim ini menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan tidak mensyaratkan pembuktian sumber api. Sepanjang kebakaran terjadi di konsesi tergugat, maka pertanggungjawabannya dapat dimintakan”, ujar Raynaldo.
Raynaldo juga menegaskan bahwa pertimbangan majelis hakim ini harus menjadi tonggak awal untuk menyudahi polemik dan pernyataan yang banyak menyebutkan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang selama ini terjadi di konsesi perusahaan disebabkan oleh masyarakat .
ICEL, katanya, mengapresiasi pertimbangan majelis hakim PN Jakarta Selatan dan berharap para penegak hukum merujuk pada pertimbangan ini. ICEL merekomendasikan pengadilan di tingkat banding untuk tidak mengikuti dissenting opinion dari hakim anggota II yaitu Nursyam.
Organisasi ini juga merekomendasikan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum untuk tidak mengulangi pernyataan bahwa sumber api berasal dari lahan masyarakat. "Karena peraturan perundang-undangan tidak mensyaratkan pembuktian sumber api dalam perkara kebakaran hutan dan lahan," katanya.
GHOIDA RAHMAH