TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan radikalisme terjadi karena kemarahan atas situasi politik. Kemarahan yang dialami kaum muda ini akhirnya membuat mereka melakukan tindakan teror yang mengerikan.
"Apa yang terjadi di Nice, yang dibuat oleh, katakanlah, Mohamed Lahouaiej Bouhlel, apakah mereka menyerang itu karena agama? Tentu ada, tapi lebih karena kemarahan, kemarahan pemuda, kemarahan yang muda akibat masalah-masalah kependudukan dan penghancuran negeri-negeri Islam," kata Kalla, Kamis, 4 Agustus 2016, saat membuka seminar The Muslim World League di Aula Buya Hamka, Masjid Al-Azhar, Jakarta.
Kalla mengatakan, jika ditelusuri, pelaku teror dengan menabrakkan truk dan menewaskan sekitar 80 orang itu bukanlah orang Islam yang baik. Dia adalah peminum alkohol. Sikap radikal yang berujung aksi teror ini, kata Kalla, bukan dilandasi ajaran, tapi karena kemarahan melihat negeri-negeri Islam hancur akibat pendudukan negara-negara asing.
Dia membandingkan teror Nice dengan penembakan polisi di Dalla, Amerika Serikat. Penembakan polisi kulit putih itu dilakukan pemuda 25 tahun bernama Micah Johnson yang berkulit hitam. "Seorang mantan tentara Amerika menembak lima polisi kulit putih, apakah ideologis? Tidak, dia marah karena dua orang kulit hitam dibunuh," ujar Kalla.
Karena itulah Kalla menilai penyelesaian radikalisme yang berujung aksi teror tidak mudah jika hanya dilakukan dari sudut pandang keagamaan. Penyelesaian harus menyentuh sampai ke sumber permasalahan, kehancuran negara-negara Islam yang terjadi, baik karena pengaruh eksternal maupun internal. "Tentu ada masalah otoriter pemimpinnya juga. Sadam Husein, sekarang di Syria, atau seperti di Libya, tentu masalah, tapi akibat kehancuran internal," tutur Kalla.
AMIRULLAH