TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara, merupakan ekspresi intoleransi dan suatu tindakan kekerasan yang tak semestinya terjadi.
Meski persoalan awal hanya masalah sepele, ia menganggap, jika ekspresi tersebut dilakukan dalam masyarakat intoleran, hal itu akan mengakibatkan kerusuhan. “Apalagi diduga ada aktor yang memprovokasi,” kata Ismail dalam siaran pers yang diterima Tempo, Minggu, 31 Juli 2016.
Setara Institute mengutuk keras tindakan pembakaran sejumlah tempat ibadah di Tanjung Balai. Mereka pun mengapresiasi langkah kepolisian mempertemukan tokoh-tokoh agama setempat untuk memulihkan situasi. Setara menganggap Forum Kerukunan Umat Beragama di Sumatera Utara sebagai forum yang bekerja baik dalam memajukan toleransi antar-umat beragama.
Ismail juga berharap Polri mampu mengungkap aktor penggerak kerusuhan itu serta masyarakat tak mudah terprovokasi melakukan kekerasan lanjutan. Ia menginginkan peristiwa ini menjadi pembelajaran semua pihak. “Kondisi intoleransi di tengah masyarakat meningkat.”
Peristiwa pembakaran dua wihara dan lima kelenteng di Tanjung Balai dipicu salah paham antarwarga setempat. Menurut Kepala Kepolisian Resor Tanjung Balai Ajun Komisaris Besar Ayep Wahyu Gunawan, peristiwa itu bermula pada Jumat, 29 Juli 2016. Seorang penduduk, M, merasa terganggu suara azan magrib dari pengeras suara di sebuah masjid yang berada di depan rumahnya.
Terjadi perselisihan antara M dan jemaah masjid itu. Kepolisian setempat pun sempat melakukan mediasi bersama pihak kelurahan. Saat mediasi dilakukan itulah ada pesan berantai melalui media sosial yang mengatakan masjid tersebut dilarang memperdengarkan azan. Pesan itulah yang akhirnya menyulut kemarahan umat Islam di Tanjung Balai.
DIKO OKTARA