TEMPO.CO, Yogyakarta - Jumlah penderita gangguan jiwa berat alias Skizofrenia di Daerah Istimewa Yogyakarta menempati urutan tertinggi kedua, setelah Daerah Istimewa Aceh. Tingginya jumlah penderita skizofrenia itu terutama terjadi setelah gempa bumi pada 2006. “Banyak korban gempa yang masih hidup tertekan, tetapi tidak ada teman atau keluarga untuk mencurahkan isi hati,” kata Kepala Dinas Kesehatan DIY dokter gigi Pembayun Setyaningastutie dalam acara Peluncuran Sistem Rehabilitasi Pasien Skizofrenia Terintegrasi, Yogyakarta, Rabu, 27 Juli 2016.
Pembayun mengatakan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskerda) Kementerian Kesehatan pada 2013, jumlah penderita skizofrenia di DIY mencapai 2,7 per mil. Artinya, dalam 1.000 penduduk terdapat 2-3 orang penderita Skizofrenia atau Orang Dengan Skizofrenia (ODS). Meski pada gempa 2006, Bantul menjadi daerah dengan korban terbanyak, prevalensi tertinggi penderit skizofrenia ada di Kabupaten Kulon Progo yakni mencapai 4,7 per mil, adapun Bantul tercatat 4 per mil, Kota Yogyakarta 2,14 per mil, Gunung Kidul 2,05 per mil, dan terendah di Sleman 1,52 per mil.
Menurut Pembayun, saat ia menjabat Direktur Rumah Sakit Grhsia Sleman yang menangani pasien gangguan jiwa dan pengguna narkotika, sekitar tiga tahun lalu, ada 90 ODS yang dipasung. Sebanyak 60 orang di antaranya sudah dilepas karena dirujuk ke rumah sakit jiwa. “Tapi setelah pasien pulang, lalu kembali lagi (menjadi pasien RSJ). Saya gemas. Persoalannya ada pada keluarga dan masyarakat sekitar,” kata Pembayun.
Ketua Seksi Skizofrenia Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Anak Agung Ayu Agung Kusumawardhani mengatakan, secara umum gejala skizofrenia mulai tampak pada usia muda 18-22 tahun. Masa itu adalah masa remaja mencari jati diri yang memerlukan banyak pembekalan.
Bagi yang tidak mendapat penanganan secara tepat, kondisi itu akan semakin parah pada usia 50-60 tahun. Selama ini, kata dia, skizofrenia masih dianggap bukan penyakit medis, tetapi karena sebab mistis. “Padahal itu penyakit pada otak. Kalau ditangani lebih dini dan tepat, bisa sembuh,” kata Kusumawardhani.
Berdasarkan kajian Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, penanggulangan kesehatan jiwa tidak hanya melalui fisik atau medis saja. Melainkan rehabilitasi psikiatrik, psikososial, dan sosial harus diterapkan agar ODS bisa sembuh dan produktif kembali di lingkungan masyarakat. “Jadi perlu sistem rehabilitasi pasien Skizofrenia secara terintegrasi. DIY yang menginisiasi,” kata Sekretaris Eksekutif Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajeme Asuransi (KPMAK) Fakultas Kesehatan UGM Yogyakarta dokter Diah Ayu Puspandari.
Sistem itu merupakan hasil rumusan KPMAK FK UGM bekerjasama dengan Pemerintah DIY untuk tatalaksana skizofrenia secara komprehensif. Meliputi model pengobatan, perawatan, dan pendampingan ODS.
Direktur Penanggulangan Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan dokter Fidiansjah tengah mempersiapkan kesepakatan bersama empat kementerian dan dua lembaga untuk penanggulangan skizofrenia. Meliputi Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian, Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, serta lembaga Kepolisian dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
PITO AGUSTIN RUDIANA