TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz, meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) fokus mengawasi elite politik yang berpotensi melakukan politik uang dalam setiap pemilihan umum atau pilkada. Menurut Hafidz, politik uang akan selalu terjadi karena penegakan hukum sulit menjerat pasangan calon.
"Jangan fokus ke pemilih karena politik uang lebih banyak ke elite. Strategi Bawaslu harus ke elite politik," kata Hafidz di kantor Bawaslu, Jakarta, Jumat, 3 Juni 2016.
Menurut Hafidz, politik uang dilakukan secara sistematis. Para pasangan calon kerap membagikan uang kepada broker atau orang yang memiliki posisi kuat di masyarakat. Orang tersebut lalu membagikannya kepada para operator untuk dibagikan kepada pemilih.
Hafidz meminta Bawaslu memberi sanksi hukum di level tim sukses hingga pasangan calon apabila terbukti melakukan politik uang. Sebab, pemilih yang menerima uang hanya menjadi korban.
"Jangan sampai yang dihukum orang di luar pasangan calon, mereka hanya jadi korban," katanya. Berdasarkan evaluasi pada 2015, kata Hafidz, politik uang terjadi bukan karena banyaknya permintaan, melainkan penawaran dari pasangan calon.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang. Salah satu poinnya adalah persoalan politik uang.
Hafidz mengusulkan penentuan uang makan bisa mengacu pada 2015, yaitu sebesar Rp 25 ribu. Menurut dia, cara itu bisa ditempuh Bawaslu untuk menentukan kriteria layak pada uang makan untuk menghindari politik uang. Uang tersebut bisa berbentuk tunai atau barang. "Di atas itu (Rp 25 ribu), politik uang," tuturnya.
DANANG FIRMANTO