TEMPO.CO, Jakarta - Jimly Asshiddiqie menanggapi hukuman etik yang dijatuhkan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat. Mantan Ketua MK itu mengatakan sistem pemberian sanksi etik kepada hakim MK baru pertama kali diperkenalkan.
Ia berharap pemberian sanksi etik tersebut menjadi tradisi yang baik di internal Mahkamah Konstitusi. "Biarlah jadi tradisi dulu," katanya saat dihubungi di Jakarta, Jumat, 29 April 2016.
Adapun Arief Hdayat dikenai sanksi etik berupa teguran lisan oleh Dewan Etik MK. Sanksi tersebut dijatuhkan karena Arief diduga memberikan memo kepada mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono.
Dewan Etik yang dipimpin Abdul Mukthie Fadjar dengan anggota Hatta Mustafa dan Muchammad Zaidun menyatakan Arief terbukti melanggar kode etik butir ke-8 mengenai kepantasan dan kesopanan sebagai hakim konstitusi. "Sanksinya teguran lisan," kata Abdul Mukthie.
Dugaan katebelece Arief Hidayat pertama kali ditulis Tempo berdasarkan informasi yang masuk ke WhatsApp Pusat Peliputan Tempo di nomor 0811-936-687. Dari laporan tersebut, Tempo menelusuri kebenaran ketebelence berupa memo yang ditulis tangan oleh Arief.
Arief menulis selembar memo di atas kertas berkop MK sebagai katebelece kepada Jampidsus pada April 2015. Salah satu isinya, dia meminta Widyo seolah memberikan perlakuan khusus kepada jaksa di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Muhammad Zainur Rochman. Dalam tulisan itu Arief menyatakan Zainur adalah salah satu kerabatnya.
Memo tersebut kemudian dititipkan dalam amplop berisi penilaian karya ilmiah Widyo saat Zainur berkunjung ke gedung MK. Lalu Zainur mengirimkan memo dan amplop tersebut ke kantor Jaksa Agung Muda Pidana Khusus bersama dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono.
Menurut Abdul Mukthie, berdasarkan hasil pemeriksaan, Arief tak terbukti menyalahgunakan jabatannya sebagai Ketua MK. Putusan ini didasarkan pada pemeriksaan terhadap Arief, Widyo Pramono, Zainur Rochman, Bayu Dwi Anggono, dan pemeriksaan buku tamu Kejaksaan Agung.
Dewan Etik hanya berkesimpulan Arief tak berhati-hati karena memo yang ditulisnya dapat ditafsirkan berbeda. "Hanya bisa sampai itu pemeriksaan Dewan Etik," ujar Mukthie.
Mukthie mengakui banyak kejanggalan dan belum tuntasnya pemeriksaan atas isu katebelece tersebut. Satunya di antaranya perbedaan pendapat soal keberadaan memo tersebut.
Arief, Zainur, dan Bayu mengklaim memo tersebut telah diterima secara langsung oleh Widyo saat diantar ke kantor Jampidsus. Menurut Widyo, tak pernah ada memo dari Arief. Sedangkan penilaian karya ilmiah, kata Widyo, diambil sopir pribadi langsung ke rumah dinas Arief.
Ketika isu ini mencuat, Widyo membantah menerima memo dari Arief tentang seorang jaksa. Ia hanya mengakui kedekatan dengan Arief sejak sama-sama bertugas di Jawa Tengah. Widyo juga menilai katebelece tersebut salah alamat karena dirinya tak memiliki kewenangan memberikan promosi atau mutasi kepada seorang jaksa. "Saya kira tak ada kaitannya dengan saya," tutur Widyo.
Mantan hakim konstitusi Arsyad Sanusi juga pernah dijatuhi sanksi karena terbukti melanggar kode etik. Karena pelanggaran etika itu, Arsyad memilih mundur dari jabatan ketua MK.
Menurut Jimly, Arief tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya seperti Arsyad Sanusi. "Kalau setiap sanksi ringan harus diikuti aksi mundur, tidak ada lagi unsur mendidik dalam sistem sanksi yang diterapkan," kata Jimly.
Ia mengatakan sanksi ringan tersebut seharusnya jadi alat pendidikan etika profesional di internal MK. "Kalau sanksi berat baru didealkan untuk mundur," ujarnya.
INGE KLARA SAFITRI | FRANSISCO ROSARIANS