TEMPO.CO, Klaten - Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah akan menampung dan mencarikan tempat tinggal bagi istri dan kelima anak Siyono jika warga Desa Pogung mengusir mereka. “Muhammadiyah bertanggung jawab. Kami juga akan membantu meringankan beban ekonomi yang ditanggung Ibu Suratmi (istri Siyono),” kata Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak pada Kamis, 31 Maret 2016.
Siyono adalah warga Dukuh Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten. Lelaki 33 tahun tersebut tewas dalam status tahanan Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri. Ayah lima anak itu meninggal saat proses pemeriksaan pada Jumat, 11 Maret 2016.
Polri menyatakan Siyono tewas dalam perjalanan ke rumah sakit setelah berkelahi dengan seorang anggota Densus yang mengawalnya. Namun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) menemukan kejanggalan dalam kematian Siyono.
Selasa malam lalu, sekelompok warga Desa Pogung yang dipimpin Kepala Desa Djoko Widoyo membuat surat pernyataan yang mengatur tentang sanksi bagi keluarga Siyono jika mengizinkan otopsi.
Sanksi pertama, otopsi harus dilakukan di luar wilayah desa. Kedua, jenazah Siyono tidak boleh dimakamkan kembali di desa tersebut. Dan yang terakhir, pihak keluarga yang memberi izin otopsi harus keluar dari desa.
Menanggapi tiga sanksi tersebut, Dahnil mengatakan Muhammadiyah menghargai sikap warga dan tetap menjaga nilai-nilai toleransi. “Kami juga menghargai sikap dari keluarga Siyono,” kata Dahnil yang mengaku sudah meminta tanggapan Suratmi ihwal adanya sanksi yang disiapkan warga.
Menurut Dahnil, jawaban Suratmi sangat sederhana. “Tanah Allah itu luas, Pak. Kami siap tinggal di mana pun,” kata Dahnil meniru ucapan Suratmi saat ditemui di rumahnya pada Rabu lalu.
Dahnil menambahkan, pihaknya telah menyiapkan sekitar lima hingga delapan dokter ahli forensik dari universitas dan rumah sakit Muhammadiyah untuk mengotopsi jenazah Siyono. “Otopsi akan segera dilakukan. Nanti akan kami umumkan,” ujarnya.
Meski tidak setuju jenazah Siyono diotopsi, kakaknya, Wagiyono, mengaku sudah tidak bisa berbuat apa-apa. “Kalau dilanjutkan (rencana otopsi jenazah Siyono), warga dan pemerintah desa tidak boleh. Tapi istri Siyono maunya begitu (tetap meminta otopsi), kami mau bagaimana lagi,” kata Wagiyono.
Kendati demikian, Wagiyono tetap keberatan dengan dua sanksi yang tertera dalam surat pernyataan kesepakatan bersama warga Desa Pogung. “Keluarga kami sudah dalam kondisi seperti ini masak masih harus ditambah (beban) lagi,” ujarnya.
Sekretaris Islamic Study and Action Center (ISAC) Endro Sudarsono mengaku telah mempertanyakan alasan dan dasar hukum penolakan otopsi jenazah Siyono kepada Djoko Widoyo. “Dia tidak mampu menjawab,” kata Endro. Endro berharap proses otopsi dalam waktu dekat ini bisa berjalan lancar tanpa gangguan dari pihak tertentu dengan cara menghasut warga.
Djoko membantah disebut menolak rencana otopsi jenazah Siyono. “Kami hanya mengakomodasi kepentingan bersama warga. Warga hanya meminta supaya tercipta iklim yang kondusif di Desa Pogung,” kata Djoko saat dikonfirmasi Tempo.
Djoko mengklaim warga Pogung selama ini ketakutan karena desanya sering kedatangan orang asing sejak kematian Siyono. “Karena itu, kami minta kepada keluarga Siyono agar masalah ini segera selesai dengan jalan membuat pernyataan bersama warga,” katanya.
DINDA LEO LISTY