TEMPO.CO, Surabaya – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendorong perguruan tinggi berpartisipasi mendirikan pusat kajian halal. Sebab, diskusi antara ulama dan akademisi atau ilmuwan sangat diperlukan dalam penentuan halal-haramnya suatu produk.
“Suatu produk halal atau tidak, ulama memberi hukum berdasarkan informasi dari ilmuwan atau peneliti,” tutur Ketua MUI KH Ma’ruf Amin seusai menghadiri acara peluncuran Pusat Kajian Halal Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Kamis, 24 Maret 2016.
Ma’ruf mengisahkan pengalamannya dalam menyatakan status kehalalan suatu makanan. Kala itu, sebagian ulama ribut soal apakah kepiting itu haram. Alasannya, kepiting hidup di dua alam. “Lalu, ada profesor ahli kepiting menjelaskan, ternyata kepiting tidak hidup di dua tempat. Dia hanya hidup di air dan bisa di darat karena dia punya kantong khusus. Jadi tidak haram,” tuturnya.
Pusat Kajian Halal di perguruan tinggi berperan dalam mewujudkan amanat perundang-undangan mengenai sertifikasi halal. Sertifikat tersebut sangat diperlukan sebagai persiapan penerapan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Pada Pasal 12 disebutkan pemerintah atau masyarakat diperbolehkan membentuk lembaga pemeriksa halal (LPH). “Kita diberi waktu 5 tahun sejak Undang-Undang itu disahkan. Jadi setidaknya tahun 2018 sudah diterapkan.”
Ma’ruf Amin mengatakan produk lokal yang sudah tersertifikasi baru 15 persen. Jika nanti Undang-Undang tersebut menjadi wajib, MUI mendorong jumlah produk halal bertambah menjadi 85 persen. “Sehingga harus banyak pusat kajian halal di Indonesia, termasuk pengawasan terhadap pembuat sertifikat halal. Salah satunya melalui perguruan tinggi.”
Pusat kajian halal ITS ini menjadi yang kedua di Jawa Timur setelah Universitas Brawijaya, di bawah naungan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITS. “Pusat kajian halal ini tugasnya tidak hanya melakukan pemeriksaan dan atau pengujian kehalalan produk semata, tapi lebih luas dari itu,” kata Kepala LPPM ITS Adi Soeprijanto.
Yang tak kalah penting, menurut Adi, ialah penelitian-penelitian untuk mencari bahan alternatif sebagai pengganti bahan yang haram, baik untuk kebutuhan obat maupun makanan.
Pusat Kajian Halal ITS itu nantinya akan melayani kebutuhan masyarakat terkait dengan pemeriksaan prosedur untuk mendapat sertifikat halal dari MUI. Dalam waktu dekat, penelitian akan dilakukan terkait dengan bahan pengganti yang banyak digunakan masyarakat, tapi masih menjadi perdebatan dari sisi kehalalannya.
Contohnya, kapsul pembungkus obat yang hingga saat ini sebagian masih menggunakan gelatin babi. “Kami sedang melakukan penelitian untuk membuat kapsul dari bahan yang lebih halal, yakni rumput laut dan tumbuhan lidah buaya,” kata Ketua ITS Halal Center, Dr rer.nat Fredy Kurniawan.
Untuk melengkapi fasilitas laboratorium uji halal tersebut, pusat kajian halal mendapat kucuran dana dari APBN sekitar Rp 2,5 miliar, dari total Rp 24 miliar anggaran pusat penelitian bagi ITS. “Nanti akan perlahan-lahan dilengkapi alat-alat deteksi, splitting (pemisahan zat), dan lain-lain,” ujar Fredy.
ARTIKA RACHMI FARMITA