TEMPO.CO, Pontianak – Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat mengagalkan upaya penyelundupan 17 biawak atau Lantlranotus bomeensin yang akan dikirimkan ke Jakarta melalui jasa ekspesidi. Diperkirakan biawak tersebut untuk dijual di pasar satwa di Eropa karena diburu kolektor.
“Pengamanan satwa langka endemik Kalimantan Barat ini dilakukan pada Senin 14 Maret 2016, pukul 16.30 WIB, di Bandara Internasional Supadio Pontianak,” kata Kepala BKSDA Kalbar, Sustyo Iriyono, Selasa 15 Maret 2016. Satwa reptil tersebut diamankan di Terminal Kargo Bandara Supadio Pontianak. Pengirim dengan Inisial I asal Pontianak dengan tujuan seseorang di Batam.
“Kami bekerja sama dengan pihak Kepolisian, dan perusahaan jasa pengiriman untuk melacak keberadaan pemilik barang ini,” ujarnya.
Modus operandi yang dilakukan I, yakni reptil tersebut dimasukan ke dalam kotak plastik, kemudian kotak-kotak tersebut disembunyikan di dalam kotak kardus mie instan. “Untuk mengelabui petugas, pengirim memalsukan indentitas barang di dalam resi, dengan jenis mie ramen,” katanya.
Biawak Tak Bertelinga (Landlanotus borneensis atau Varanus bomeensis) disebut juga dengan Biawak Kalimantan (Borneo). Status satwa reptil tersebut, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan satwa Liar, termasuk dalam daftar satwa liar yang dilindungi Undang-Undang dengan nama Varanus bomeensis.
Sustyo mengatakan, Balai KSDA Kalimantan Barat akan terus berupaya agar tumbuhan dan satwa liar di Kalimantan Barat terjaga kelestariannya, untuk itu penegakan hukum terhadap para pelanggar menjadi keniscayaan, karena UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya sudah disosialisasikan dan menjadi Undang-Undang dalam kurun waktu yang lama.
“Kekayaan alam Indonesia harus dijaga dan upaya pemanfaatannya harus dibarengi dengan upaya pelestariannya yang sepadan melaIui perlindungan, penangkaran, dan perbaikan perbaikan habitat,” katanya.
Oleh karena itu, tindakan perdagangan illegal Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) dan kepemilikan satwa liar dilindungi untuk kesenangan, harus bisa dihentikan.
Beberapa hari sebelumnya, Jumat 11 Maret 2016, seorang penumpang di Bandara Supadio Pontianak kedapatan menbawa barang yang diduga cula badak. Barang tersebut terdeteksi X-ray saat penumpang tersebut hendak check in. Penumpang yang kepergok petugas bandara, lantas meninggalkan barang tersebut. “Biarin saja, entar repot ngurusnya,” ujar si penumpang tersebut.
Kejadian ini menarik perhatian seorang aktivis lingkungan, Anas Nasrullah, yang kebetulan berada di dekat penumpang tersebut. Sesaat setelah Anas membuat status di media sosial, berbagai tanggapan meramaikan statusnya tersebut.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam segera menurunkan tim untuk menginvestigasi temuan tersebut. Cula tersebut kemudian diamankan dari petugas bandara yang bahkan tidak melaporkan kejadian penemuan tersebut. “Kami berkoordinasi dengan PT Angkasa Pura II Supadio Pontianak untuk mendapatkan informasi mengenai penumpang tersebut, termasuk dengan pihak maskapai penerbangan,” katanya.
Albert Tjiu, manajer program Kalimantan Barat WWF Indonesia menambahkan, benda tersebut belum bisa disebut cula badak, hingga dibuktikan melalui tes DNA. “WWF Indonesia akan membantu BKSDA Kalbar untuk membawa benda yang diduga cula tersebut ke Eijkman Institute for Molecular Biology,” katanya.
Jika benda tersebut merupakan cula badak, kata Albert, maka diharapkan dapat membuka jejak keberadaan badak di Kalimantan. Menurut penelitian WWF, badak Kalimantan pernah terlihat jejaknya di hutan Kutai Barat, Kalimantan Timur. “Dari trap camera, terlihat delapan individu badak di kawasan tersebut,” katanya.
ASEANTY PAHLEVI