TEMPO.CO , Bojonegoro: Pemerintah Kabupaten Bojonegoro menyatakan tata kelola air terutama dengan adanya Bendung Gerak di Sungai Bengawan Solo sudah memadai. Dampaknya, air sungai yang menyebabkan banjir saat musim hujan, kini sudah tidak terjadi lagi.
"Makanya, Bojonegoro ogah disebut daerah banjir lagi,” ujar Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Bojonegoro Kusnandaka Catur Prasetyo di sebuah acara di kebun belimbing Desa Ringinrejo Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro, Senin 27 April 2015.
Kusnandaka menyebutkan, selama bertahun-tahun Bojonegoro dikenal sebagai daerah banjir. Terutama saat musim hujan datang di mana, Sungai Bengawan Solo meluber dan menggenangi ratusan rumah penduduk. Tak hanya itu, banjir juga merusak infrastruktur bangunan, jalan, sekolahan, jembatan, termasuk pertanian terutama padi.
Bahkan, berita-berita banjir tiap musim hujan, membuat citra orang luar Bojonegoro terbentuk. Dampaknya, tiap ada orang ingin berkunjung ke Bojonegoro, kerap harus tanya, ‘Bojonegoro banjir’. “Tentu saja, merugikan masyarakat dan Pemerintah Bojonegoro,” kata Kusnandaka, dalam sebuah diskusi dengan forum pemerhati lingkungan, komunitas blogger, di Bojonegoro.
Tetapi, menurut Kusnandaka, sejak dibangun Bendung Gerak—yang berlokasi di Sungai Bengawan Solo, tepatnya di antara Kecamatan Kalitidu dan Kecamatan Trucuk, pelan-pelan banjir mulai teratasi. Di samping itu, juga dibangun tanggul, di kiri-kanan Bengawan Solo, pada 2010 silam, kondisinya kini berubah drastis.
Tiap tahun, terutama musim hujan, air di Sungai Bengawan Solo mulai terkendali. Di luar itu, warga juga telah mengetahui, informasi soal tatacara pengelolaan air di sungai. Misalnya, kode status siaga, hijau, kuning dan siaga merah banjir.”Jadi, banjir sudah bisa dikelola,” kata Kusnandaka.
Kusnandaka mencontohkan, di kebun belimbing seluas 23 hektare milik warga, dahulunya adalah daerah banjir. Kebetulan, kebun belimbing di Desa Ringinrejo ini, lokasinya tepat di pinggir Sungai Bengawan Solo. Selama bertahun-tahun lamanya, tanahnya sulit dikelola akibat diterjang banjir saat musim hujan datang. Tetapi, karena sering digenangi banjir, tanah sungai yang subur naik dan masuk di pekarangan kebun. Akibatnya, tanah subur dan oleh warga sekitar 10 tahun ini jadi lahan kebun belimbing.
Ke depannya, Dinas Komunikasi dan Informasi Bojonegoro juga berupaya membuat semacam brand image, agar kabupaten ini punya sebutan khas. Misalnya, yang sudah muncul, Bojonegoro Kabupaten Lumbung Pangan dan Energi. Sebutan ini muncul karena Bojonegoro merupakan daerah penghasil minyak dan gas. Kemudian disebut lumbung pangan, juga karena produksi padinya masuk empat besar daerah pertanian maju di Jawa Timur.
Menurut Opan, salah satu pegiat social dan media di Bojonegoro, sudah saatnya kabupaten ini lepas dari sebutan yang berdampak negatif. Sebutan daerah banjir berpengaruh pada pencitraan negatif terhadap para pelaku bisnis.
Padahal, kabupaten ini punya potensi besar terhadap sumber daya alamnya. Mulai dari minyak dan gas bumi, pertanian, juga daerah bebatuan seperti batu onxy, marmer, juga perkebunan bawang merah.”Ini daerah kaya raya. Masyarakat harus ikut membangun,” ujarnya di acara diskusi di kebun belimbing Desa Ringinrejo, Bojonegoro.
SUJATMIKO