"Kami tidak ingin timbul perang antara RI dan Timtim setelah UNTAET ditarik hanya karena garis perbatasan yang tidak jelas," kata Pangdam IX/Udayana, Mayjen TNI William Da Costa, di sela-sela perundingan antara RI dan UNTAET di Kuta, Bali, Selasa (30/1) siang.
Menurut Pangdam, delegasi Indonesia yang dipimpin Dirjen Hubungan Luar Negeri Departemen Luar Negeri, Hasan Wirayudha, telah mengusulkan agar dalam menentukan garis perbatasan mengikuti garis yang dibuat pemerintahan kolonial Belanda dan Portugis saat melakukan pembagian wilayah tahun 1815. Garis yang sama juga telah digunakan RI ketika menetapkan wilayah provinsi Tim-Tim.
Usulan ini, lanjut Da Costa, pada prinsipnya disambut baik oleh pihak UNTAET. Namun, yang masih menjadi masalah adalah masih adanya garis-garis perbatasan yang tidak jelas, terutama di bagian utara Tim-Tim. "Kalau di peta memang sangat jelas, tapi di lapangan bisa sangat berbeda. Karena, peta itu kan skalanya kecil sekali," kata Da Costa.
Kondisi wilayah utara Tim-Tim memang berbeda dengan kondisi di selatan. Di selatan Tim-Tim, garis perbatasan antara kedua negara sangat jelas karena tidak mengikuti alur sungai yang memisahkan keduanya. Masalah teknis perbatasan di utara, dikatakan Pangdam menjadi salah satu fokus pembicaraan.
Lebih lanjut dikatakan, perundingan yang berlangsung sejak kemarin itu masih merupakan pembicaraan tahap awal. Karenanya, pihak CNRT belum dilibatkan dan hanya mengirimkan wakilnya sebagai peninjau. "Ini masih akan panjang. Mereka (UNTAET) malah minta semacam pertemuan bulanan," ujar Da Costa.
Selain garis perbatasan, perundingan ini juga membahas masalah pelintas batas RI-Tim-Tim dengan alasan hubungan kekerabatan. Kedua belah pihak sepakat untuk mencarikan jalan keluar agar sanak keluarga yang terpisahkan oleh garis perbatasan itu tetap berkesempatan membina hubungan diantara mereka.
Selain itu, juga dibicarakan penanganan aset-aset pengungsi Tim-Tim yang masih ada kampung halaman mereka. Masalah ini sempat memanaskan situasi NTT akibat ulah sejumlah pengungsi menduduki kantor Gubernur NTT. Mereka menuntut agar aset-aset mereka yang tertinggal di Tim-Tim segera dikembalikan. (Rofiqi Hasan)