TEMPO.CO, Yogyakarta - Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta bersama 80 orang yang terdiri dari kepala desa, perangkat desa, anggota BPD, aktivis penggerak desa, dan akademisi dari berbagai daerah di Indonesia merumuskan resolusi yang berkaitan dengan desa. Rumusan ini merupakan hasil dari Sarasehan Resolusi Desa dengan tema “Memperkuat Demokrasi dan Keberlanjutan Dana Desa” di Joglo Winasis, Yogyakarta, Selasa, 5 September 2017.
Dalam keterangan IRE kepada Tempo, resolusi desa ini ingin mengembalikan mandat penggunaan dana desa untuk membiayai empat bidang kewenangan desa sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas dengan mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa. Pemerintah pusat harus meninjau kembali regulasi teknis tentang prioritas penggunaan dana desa sesuai dengan konsep dana desa sebagai hak desa.
Resolusi kedua, mereka minta agar mekanisme transfer dana desa diperjelas. Ketidakpastian waktu transfer dana desa berpengaruh pada efektivitas pengelolaan dana desa dan berdampak pada pembangunan desa. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kabupaten dan Kota harus memastikan desa memiliki alokasi waktu yang cukup dalam mengelola dana desa.
Selain itu, mereka juga menyatakan perlu adanya konsistensi regulasi dan sinergi antarkementerian yang mengampu urusan desa. Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi harus duduk bersama untuk mengatasi inkonsistensi kebijakan dan peraturan terkait pengelolaan dana desa.
Resolusi juga meminta pemerintah kabupaten dan kota harus lebih memprioritaskan mekanisme pembinaan, bukan hanya pengawasan dalam penggunaan dana desa. Fungsi pembinaan dan pengawasan seperti dua sisi mata uang, yang harus dijalankan oleh daerah sesuai dengan mandat UU Desa.
Kelima, mereka mendorong akuntabilitas sosial penggunaan dana desa. Pemerintah desa harus melibatkan warga desa dalam penggunaan dana desa, di sisi lain warga desa harus didorong untuk aktif dalam mengawal dan mengawasi pengelolaan dana desa. Desa pun didorong untuk mengaktivasi ruang-ruang sosial, seperti musyawarah desa, media informasi dan komunikasi, serta ruang-ruang sosial lainnya.
Sunaji Zamroni, Direktur Eksekutif IRE mengatakan, untuk mendorong kemandirian desa tersebut, desa diberikan keleluasaan merumuskan kewenangan yang bisa dijalankan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Sunaji juga menyatakan dalam menjalankan kewenangannya, desa mendapatkan transfer dana dari pemerintah pusat yang bersumber dari APBN yang kemudian disebut dengan dana desa sebagai salah satu sumber pendapatan APB Desa.
“Selain dana desa, sumber-sumber pendapatan desa yang lain adalah pendapatan asli desa, bagi hasil pajak dan retribusi daerah, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten dan kota, bantuan dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota, serta hibah dan sumbangan tidak mengikat dari pihak ketiga,” kata Sunaji.
Titok Hariyanto, Deputi Pengembangan Program dan Jaringan IRE menyoroti pemahaman dana desa yang keliru di masyarakat. Titok menjelaskan dana desa bukanlah bantuan pemerintah pusat kepada desa. “Dana desa merupakan hak desa yang mesti dipenuhi oleh pemerintah pusat dalam rangka mendorong konsolidasi pembangunan, mendorong kemandirian dan kesejahteraan desa,” kata Titok Hariyanto.
“Hasil riset IRE di 10 desa di Pulau Jawa menemukan, meskipun demokratisasi desa belum berjalan optimal namun sudah ada capaian-capaian yang layak dicatat dengan tinta emas. Implementasi UU Desa yang masih berusia balita telah mampu mendorong geliat perubahan di tingkat lokal yang membuka ruang baru demokratisasi tata kelola pemerintahan di tingkat desa. Tata kelola tersebut memang masih dalam proses membentuk sesuai dengan konteks persoalan yang dihadapi oleh desa,” katanya.
Sedangkan Arie Sujito, Sosiolog Universitas Gadjah Mada dan Peneliti Senior IRE mengatakan berbicara transformasi desa tidak hanya bicara dana desa, tapi juga bicara soal demokratisasi desa. Salah satu tantangan serius yang dihadapi adalah bagaimana dana desa betul-betul menjadi bagian dari isu publik. Karena itu isu publik, maka perkuat demokrasi agar dana desa menjadi perhatian publik. Dana desa adalah menyangkut ideologi pembangunan dan keberpihakan.
Arie menyatakan memang ada masalah dengan regulasi, mulai dari peraturan pemerintah, peraturan menteri, sampai peraturan bupati kadang belum sinkron. Akibatnya, kata dia, berimbas pada keraguan dan kebingungan pada desa. Ia mengajak agar tak mencurigai desa, tapi justru membangun kepercayaan pada desa dengan cara melindungi desa dengan hukum, membela desa dengan demokrasi. Arie Sujito mengajak rakyat desa bangkit menata diri, menjawab keraguan bahwa dana desa tidak bisa dikelola dengan baik. “Mari organisasikan petani, perempuan, kaum difabel untuk bersama-sama mengawasi penyelenggaraan dana desa,” katanya.
SUNUDYANTORO