TEMPO.CO, Jakarta - Dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka adalah Kautsar dan Samsul Bahri. Keduanya merupakan anggota Partai Nanggroe Aceh.
Kautsar menyatakan uji materi dilakukan terhadap Pasal 571 huruf D Undang-Undang Pemilu. Di pasal itu, kata dia, disebutkan bahwa Pasal 57 dan Pasal 60 ayat 1, ayat 2, dan ayat 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. "Ini menafikan kekhususan Aceh," katanya di gedung MK, Jakarta, Selasa, 22 Agustus 2017.
Simak pula: Rhoma Irama Gugat UU Pemilu karena Ingin Jadi Calon Presiden
Kautsar menyayangkan pemerintah dan DPR RI tidak berkoordinasi dengan DPR Aceh saat membahas RUU Pemilu. Padahal dalam Pasal 8 ayat 2 dan Pasal 269 UUPA sudah diatur kewajiban konsultasi untuk mendapatkan pertimbangan DPR Aceh tentang Rancangan Undang-Undang yang terkait dengan Aceh.
Menurut dia, koordinasi diperlukan karena Aceh merupakan daerah istimewa sesuai dengan amanat konstitusi di Pasal 18. "Kalau dikonsultasikan, mungkin saja kebijakan itu kami terima," kata Kautsar.
Pemerintah dan DPR RI sudah menyepakati Undang-Undang Pemilu. Meski demikian, kehadiran undang-undang itu menimbulkan polemik. Hingga saat ini setidaknya sudah ada tiga pihak yang mengajukan gugatan Undang-Undang Pemilu ke MK. Dua di antaranya Ketua Umum Partai Idaman Rhoma Irama dan Partai Solidaritas Indonesia.
Kautsar menambahkan, bunyi keseluruhan Pasal 571 huruf D dalam Undang-Undang Pemilu berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum di Aceh, yaitu tentang Komisi Independen Pemilihan Aceh dan Panwaslih Aceh. Kautsar menyatakan, dengan Undang-Undang Pemilu yang baru, lembaga tersebut menjadi di bawah Komisi Pemilihan Umum Pusat. "Sebelumnya itu kan dipilih oleh DPR Aceh," katanya.
ADITYA BUDIMAN