TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Deputi Riset Kebijakan Lembaga Administasi Negara Muhammad Taufiq mengakui belum adanya perubahan signifikan terkait agenda reformasi birokrasi di Indonesia. Taufiq mengatakan, hal ini di antaranya disebabkan oleh belum sinergisnya setiap instansi/kementerian/lembaga yang ada.
"Reformasi itu pada dasarnya tidak bisa dilakukan oleh masing-masing (lembaga), tetapi sebagai tim," kata Taufiq kepada Tempo di kantor Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, Senin, 21 Agustus 2017.
Baca juga:
Survei ADB dan KPPOD: Reformasi Birokrasi Belum Ideal
Taufiq mengatakan, dirinya tidak bisa merinci secara spesifik kementerian/lembaga atau pemerintah yang secara kinerja lambat dalam mewujudkan reformasi birokrasi. Ia menguraikan, sampai saat ini setiap instansi masih ada pada tahap awal pembenahan, belum mencapai output yang ditargetkan.
Sejak pertama dicanangkan pada 2010, ada delapan area reformasi birokrasi yang diagendakan pemerintah, yaitu kelembagaan, sumber daya manusia, tata laksana, pengawasan, pelayanan, akuntabilitas, regulasi, dan pola pikir aparatur negara. Dari kedelapan area tersebut, Taufiq menyebutkan empat yang paling sulit diubah yakni pola pikir, kelembagaan, sumber regulasi, dan sumber daya manusia.
Simak:
Revisi UU ASN Harus Tekankan Reformasi Birokrasi dan Profesionalisme
"Saat ini masih banyak sekali tumpang tindih antar instansi. Maka kita bukan hanya ingin rightsizing, tapi juga streamlining," kata Taufiq.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo dalam seminar internasional Reconstructing Public Administration Reform to Build World Class Government mengemukakan perampingan lembaga (rightsizing) dan sistem pembayaran tunggal (single payment system) sebagai dua faktor krusial dalam reformasi birokrasi.
Agenda reformasi birokrasi diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi. Melalui rancangan ini, pemerintah memberikan tunjangan kinerja kepada 63 kementerian/lembaga dan 77 pemerintah daerah.
BUDIARTI UTAMI PUTRI