TEMPO.CO, Jakarta - Surat keberatan mantan anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Miryam S. Haryani atas dakwaan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibacakan seluruhnya oleh tim kuasa hukumnya. Politikus Hanura itu didakwa memberikan keterangan palsu dalam sidang korupsi proyekKartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).
Dalam surat keberatannya, kuasa hukum Miryam menyatakan jaksa penuntut umum KPK tidak berhak menuntut kliennya. Sebab, perbuatan yang dilakukan Miryam bukan perkara tindak pidana korupsi.
Baca: Sidang Eksepsi, Kenapa Miryam Optimistis Pembelaannya Diterima?
Menurut kuasa hukum Miryam, Heru Andeska, Pasal 22 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi tidak sepatutnya didakwakan kepada kliennya. Pasal itu, kata dia, dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi BAB III tentang Tindak Pidana Lain, sementara tentang Tindak Pidana Korupsi dimuat dalam BAB II.
"Artinya, pembuat undang-undang secara terang, tegas, dan jelas menyatakan tindak pidana lain itu bukan termasuk tindak pidana korupsi meskipun tindak pidana itu diatur dalam Undang-Undang Tipikor," katanya saat membacakan surat keberatan Miryam di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 24 Juli 2017.
Heru beranggapan kasus Miryam selayaknya diproses hukum di Pengadilan Umum. "Tindak pidana yang didakwakan kepada Miryam tidak dapat diproses dalam semua tingkat pemeriksaan, mulai penyidikan, penuntutan , hingga peradilan," ujarnya.
Baca juga: Miryam S. Haryani Minta Perlindungan Pansus Hak Angket KPK
Selain itu, surat dakwaan yang disusun jaksa dianggap menyimpang. Saat pemeriksaan, Miryam disangka melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, saat pelimpahan ke pengadilan, ada tambahan Pasal 64 ayat (1) KUHP dari jaksa penuntut umum.
"Penambahan Pasal 64 ayat 1 KUHP oleh jaksa yang menyimpang dari pemeriksaan menyebabkan surat dakwaan tidak bisa diterima dan harus dinyatakan batal," ucapnya.
Pihak kuasa hukum Miryam juga mempertanyakan soal pencabutan berita acara pemeriksaan (BAP). Menurut mereka, pencabutan BAP adalah suatu sikap yang biasa dilakukan saksi sidang, bukan perbuatan yang melawan hukum.
Pengacara Miryam juga menilai jaksa tak jelas menyebutkan kapan waktu terjadinya pemberian keterangan palsu. Karena itu, Heru meminta majelis hakim menyatakan hak jaksa penuntut umum terhadap kliennya gugur dalam perkara ini.
"Kami meminta majelis hakim menerima eksepsi seluruhnya," tuturnya. Ia juga meminta Miryam S. Haryani dibebaskan dari segala dakwaan dan dipulihkan nama baiknya.
MAYA AYU PUSPITASARI