TEMPO.CO, Mojokerto - Penimbunan bekas rawa dan sawah Tanah Kas Desa (TKD) yang akan digunakan lahan parkir dan sentra kuliner di Kawasan Cagar Budaya Nasional Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sementara dihentikan. Lahan bekas kolam kuno yang berubah jadi rawa dan sawah tersebut berada tepat di depan atau timur kompleks Museum Majapahit dan di selatan situs Kolam Segaran di Desa/Kecamatan Trowulan.
Penghentian pembangunan lahan oleh Pemerintah Desa Trowulan tersebut atas permintaan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan. Selain belum meminta izin ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pembangunannya dikhawatirkan akan mengganggu fungsi lahan yang merupakan bekas kolam dan rawa sebagai penyaring air sebelum masuk atau merembes ke kolam utama, Kolam Segaran. (Baca: Trowulan Jadi Kawasan Cagar Budaya Nasional)
“Kami minta dihentikan dulu karena lahan yang akan dibangun oleh Pemerintah Desa Trowulan itu berfungsi sebagai penyaring sebelum air masuk ke dalam Kolam Segaran,” kata Kepala BPCB Trowulan Andi Muhamad Said, Sabtu, 20 Mei 2017.
Menurut Andi, sejak awal tidak ada pemberitahuan dari Pemerintah Desa Trowulan terkait penimbunan Tanah Kas Desa berupa sawah dan rawa yang dulunya disebut sebagai Balong Bunder atau Kolam Bundar. Menurut sejumlah pemerhati sejarah Majapahit, kolam tersebut berfungsi sebagai kolam penyaring air sebelum masuk ke kolam utama, Kolam Segaran.
“Kami sudah dua kali mengirim surat baik ke pemerintah desa maupun kabupaten agar menghentikan sementara penimbunan lahan tersebut karena ini Kawasan Cagar Budaya Nasional yang kewenangannya ada pada Mendikbud,” ujar Said.
Selain meminta penimbunan lahan dihentikan, BPCB juga telah melakukan pengecekan dan pengeboran lahan untuk melihat apakah ada struktur cagar budaya yang terpendam di dalamnya atau tidak. Setelah melakukannya ternyata belum ditemukan struktur cagar budaya.
“Tapi jangan lupa yang namanya cagar budaya itu terkait dengan lingkungan. Walaupun enggak ada temuan, tapi lokasi ini bagian dari lingkungan dan penting penting bagi lingkungan,” katanya. (Baca: Alasan Trowulan Jadi Kawasan Cagar Budaya Nasional)
Menurutnya, dengan ditimbunnya lahan yang sebetulnya berfungsi sebagai lahan resapan atau penyaring itu akan mempengaruhi kualitas air yang akan masuk ke kolam utama. “Penimbunan itu akan berpengaruh pada kejernihan air yang masuk,” ujar Said.
Said menyarankan agar Pemerintah Desa Trowulan maupun Pemerintah Kabupaten Mojokerto mengkonsultasikannya ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pemegang otoritas pengelolaan kawasan cagar budaya nasional.
“Bukannya kami menghalangi rencana desa yang akan membangun disitu karena ini memang tanah kas desa, tapi kami sarankan perencanaan pembangunannya dikonsultasikan dulu ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” kata Said.
Salah satu pemerhati sejarah Majapahit, Dedy Endarto, dalam laman Facebooknya pernah menjelaskan sejarah dan fungsi bekas Kolam Bundar zaman Majapahit tersebut. “Balong Bunder (Kolam Bundar) adalah kolam penampungan dari beberapa sistem irigasi di sekitar ibukota Majapahit di Trowulan,” katanya. (Baca: Grebeg Suro, Mojokerto Ruwatan Situs Majapahit)
Menurutnya, Kerajaan Majapahit membuat saluran air atau kanal sebagai jalan air untuk mengalirkan air jernih dari mata air di pegunungan Anjasmara sampai ditampung di beberapa kolam baik kolam pengendap sampai kolam akhir. Air tersebut juga dikonsumsi sebagai air minum raja dan bangsawan. “Maka dibuat jalur air teknis berdinding batu bata ataupun semi teknis serta sistem bendung guna mengontrol laju dan jangkauan airnya. Titik simpul akhirnya berada di Balong Bunder yang juga berfungsi sebagai kolam tangkap dan pengendapan,” ujarnya.
Dari Balong Bunder, air dialirkan ke Balong Dowo atau Kolam Panjang hingga ke penampungan utama di Kolam Segaran. Dari Kolam Segaran didistribusikan untuk irigasi, transportasi, pencegah banjir, dan pertahanan kota. (Baca juga: Gunung Penanggungan Dianggap Layak Jadi Situs Warisan Dunia)
ISHOMUDDIN