TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Program Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr Ketut Sumadi menyatakan Hari Suci Galungan dan Kuningan dirayakan umat Hindu secara turun-temurun sejak abad ke-8 Masehi.
Konon, pada waktu itu, seorang raja yang bernama Mayadenawa dari Kerajaan Bedahulu, Gianyar, bertakhta dengan penuh kezaliman, bengis, dan sewenang-wenang, bahkan melarang rakyat bersembahyang.
Baca juga:
Hari Raya Galungan, Gubernur Bali: Sudah Kalahkan Diri Sendiri?
Penderitaan rakyat memuncak ketika panen gagal sehingga kelaparan muncul di mana-mana. Rakyat tidak puas terhadap raja, lalu terjadilah pemberontakan yang menelan korban jiwa tidak sedikit.
Raja Mayadenawa dapat dikalahkan, dan sejak hal itu sebagai tanda kemenangan, peristiwa tersebut dirayakan dan dikenal sebagai Hari Raya Galungan, yakni hari kemenangan dharma (kebenaran) melawan adharma (kebatilan).
Baca juga:
Baca pula:
Umat Hindu Rayakan Galungan, Sambut Hari Kemenangan Dharma
Hari Raya Galungan merupakan momentum bagi umat Hindu untuk meningkatkan kualitas dan memotivasi diri untuk selalu hidup dalam ketekunan bekerja dengan tidak melupakan keselamatan diri dan lingkungan.
Penyucian diri menyangkut semua aspek, yakni kejiwaan (mental dan pikiran), keragaan (sikap dan prilaku) yang harus berjalan dan seimbang, serta melaksanakan ajaran agama yang disebut “Tri Kaya Parisuda”, yaitu berpikir, berkata, dan berbuat yang baik.
”Untuk itu, umat Hindu perlu merenungkan makna Galungan, yakni secara sadar bahwa semua anugerah yang dilimpahkan Tuhan Yang Maha Kuasa selama ini dapat mendorong umat untuk lebih meningkatkan perbuatan baik (dharma) di dunia,” ujar Ketut Sumadi.
ANTARA | S. DIAN ANDRYANTO