TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi keberatan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dalam kasus rasuah alat kesehatan. Menurut jaksa Ali Fikri, dugaan penyalahgunaan wewenang pengadaan alat kesehatan (alkes) untuk mengantisipasi kejadian luar biasa (KLB) 2005.
Pengadaan alat kesehatan tersebut di bawah Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Kementerian Kesehatan. Jaksa Ali Fikri mengatakan, nota keberatan yang diajukan terdakwa Siti dan tim kuasa hukumnya berusaha menggiring opini agar seolah-olah terdakwa adalah korban.
Baca juga: 3 Mantan Menteri SBY Ini Jenguk Siti Fadilah di Rutan
"Kami menangkap kesan bahwa terdakwa dan tim penasehat hukumnya berusaha menggiring forum hukum yang terhormat ini masuk ke dalam skema yang sengaja diciptakan," kata Ali Fikri a di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu, 22 Februari 2017. "Seolah-olah terdakwa adalah korban atau kambing hitam atas perbuatan orang lain."
Ali menegaskan, jaksa penuntut umum dan majelis hakim tidak akan pernah terpengaruh dramatisasi yang dilakukan terdakwa Siti Fadilah. "Kami akan tetap bekerja di ruang dan koridor hukum berdasarkan alat bukti yang ada," ujar Ali.
Sebelumnya, Siti Fadilah, mengajukan keberatan karena menganggap dakwaan yang disusun jaksa tidak cermat. Siti mempertanyakan soal penerimaan gratifikasi sebesar Rp 1,2 miliar yang dituduhkan kepadanya.
Baca juga: Siti Fadilah Ditahan, 3 Selebritas Ini Terseret Kasus Alkes
Ali lantas menjelaskan, nota keberatan Siti tidak relevan dijadikan alasan jika dikaitkan dengan materi dakwaan. Alasannya, untuk membuktikan benar atau tidaknya suatu perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa atau tidak, haruslah melalui proses pemeriksaan persidangan. "Dengan demikian hal tersebut sudah keluar dari lingkup pengajuan keberatan," ucap Ali.
Dalam nota keberatannya, Siti dan penasihat hukumnya juga meminta agar dakwaan batal demi hukum. Mereka menilai surat dakwaan penuntut umum tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap dalam menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.
Berkenaan dengan dalil ini, JPU menyatakan penasihat hukum keliru dalam memahami surat dakwaan. "Di dalam surat dakwaan penuntut umum secara cermat mengutarakan kerugian negara Rp 6,1 miliar," ujar dia.
MAYA AYU PUSPITASARI