TEMPO.CO, Manado - Budaya konsumsi warga di Pulau Sulawesi sebagai tempat populasi hewan Anoa, rupanya mempunyai andil terhadap kepunahan dari hewan yang latinnya disebut bubalus depressicornis ini. Hal ini diungkapkan Advisor Program Satwa PPS Tasikoki, Simon Purser.
“Misalnya Minahasa, Sulawesi Utara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen tidak ada pantangan untuk memakan daging hewan ini. Sementara di kawasan lain Sulawesi yang masyarakatnya Muslim, Anoa itu dianggap sapi jadi tidak haram, bisa dikonsumsi,” ujar Simon di Manado, Rabu 8 Februari 2017.
Simon menjelaskan populasi Anoa di tanah Minahasa hampir dipastikan sudah punah akibat perilaku masyarakat yang tidak terkontrol melakukan perburuan. Kelompok hewan mamalia itu telah bergeser ke kawasan Gunung Ambang di daerah Bolaang Mongondouw yang masih memiliki hutan perawan.
Selain perburuan, kata Simon, perusakan lingkungan habitat Anoa ikut berandil berkurangnya jumlah hewan bertanduk itu.
“Populasi masyarakat yang terus bertambah dan membuka hutan untuk lahan perkebunan, penebangan dan yang lainnya telah menyebabkan Anoa semakin langka,” ujar Simon kembali.
Sementara, Irma dari tim Anoa Breeding Centre dari Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut, sesuai data yang diambil dari berbagai sumber, jumlah populasi Anoa di Sulawesi saat ini sekitar 2.469 ekor individu dewasa.
“Jadi tipikal hewan ini memang sangat bergantung dengan hutan, kalau habitatnya terganggu atau berkurang maka akan berakibat langsung pada makanannya dan hewan ini bisa semakin habis,” ujar Irma.
Pada, Selasa, 7 Februari 2017 Bayi Anoa baru dilahirkan di Manado. Bayi dengan berat 5,2 kilogram ini berasal dari indukan jantan bernama Rambo dan betina yang dinamai Denok. Keduanya berasal dari spesial yang sama, lowland atau dari daratan rendah.
ISA ANSHAR JUSUF