TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atmajaya Yogyakarta Danarka Sasongko menilai, literasi publik terhadap pesan-pesan di media sosial masih rendah. Hal itulah yang menyebabkan berita-berita palsu atau hoax banyak dibagikan oleh masyarakat di media-media sosial pribadinya. Itu merupakan penyebab hoax menjadi viral yang pertama.
"Masyarakat masih belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Regulasi kita juga belum menjangkau hal-hal seperti itu. Oleh karenanya, kedua aspek itu perlu dibenahi," kata Danar saat dihubungi, Ahad, 22 Januari 2017.
Kedua, menurut Danar, dunia media sosial bagi masyarakat Indonesia adalah hal yang baru. Itu sebabnya, masyarakat tergopoh-gopoh berhadapan dengan dunia yang baru tersebut. Hal itu, kata Danar, membuat masyarakat cenderung menelan sebuah informasi secara mentah-mentah. "Inilah kecenderungan masyarakat kita."
Baca juga:
Sekretaris Klub Bola Madiun Kaget Rumahnya Digeledah KPK
3 Langkah Penting untuk Memerangi Hoax
Ketiga, Danar berujar, fenomena merebaknya hoax di media sosial juga meningkat menjelang pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum. Keempat, kultur politik masyarakat belum matang. "Itu mengakibatkan political hoax banyak dikonsumsi masyarakat, black campaign," tuturnya.
Karena itu, menurut Danar, pemerintah perlu memperkuat regulasi, khususnya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dia menilai, revisi UU ITE yang baru saja dilakukan hanya menjangkau aspek hukum. "Tidak melibatkan teman-teman dari ilmu komunikasi, ilmu antropologi, dan lain-lain."
Danar mengatakan, definisi-definisi khusus tidak tertulis secara gamblang dalam UU ITE. "Misalnya tentang pesan media sosial, mana yang boleh dan mana yang tidak. Jadi, semisal terdapat suatu kasus dibawa ke pengadilan, orang hanya akan berdebat per definisi yang tidak secara khusus diatur," ujarnya.
Menurut Danar, karena teknologi terus berkembang, regulasi pun harus terus menyesuaikan. Seharusnya, dia menilai, revisi UU ITE tak hanya dilakukan ketika terdapat kelompok masyarakat yang mengusulkan. "Harus dibuat menjadi sesuatu yang periodik. Jadi, sudah ada mekanisme yang rutin untuk revisi," katanya.
Baca juga:
Agar Negara Tak Gaduh, MUI Prakarsai Rujuk Nasional
SBY Keluhkan Hoax, Jokowi: Jangan Banyak Keluhan
Danar melanjutkan, jika pemerintah tidak mampu mengatur meluasnya hoax, akan semakin banyak pesan yang tidak bermutu yang tersebar di masyarakat. "Tapi risikonya, ketika pemerintah membuat regulasi, negeri ini akan dikatakan otoriter. Tapi itu yang harus ditempuh. Membuat regulasi bukan berarti harus otoriter," ujarnya.
Danar juga mengajak masyarakat untuk kritis dan selalu mengecek ulang apakah informasi-informasi yang mereka terima benar adanya. Begitu pula dengan jurnalis. "Dia harus memikirkan efek dari pesan yang dia sampaikan. Sebagai produser pesan, dia harus lebih literate dari masyarakat," tuturnya.
Namun, Danar menuturkan, sebuah media terkadang memiliki motif ekonomi dan politik yang lebih dominan. "Kita tidak bisa menutup mata bahwa ada sekian banyak media yang dibangun semata-mata untuk berburu uang sehingga semakin diakses banyak orang semakin baik. Motif-motif ekonomi ini yang merusak dunia media," katanya.
ANGELINA ANJAR SAWITRI