TEMPO.CO, Yogyakarta - Direktur Pusat Studi Agama dan Perdamaian Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Suhadi, mengatakan kasus intoleransi di Yogyakarta marak terjadi karena negara lambat melakukan konsolidasi, misalnya di tingkat pemerintah daerah. Bila praktek intoleransi dibiarkan, maka berbahaya karena menyebabkan benturan masyarakat yang semakin keras. Masyarakat dibiarkan bernegosiasi dengan kelompok intoleran.
“Praktek intoleransi dibiarkan berlarut-larut. Ini membahayakan,” kata Suhadi kepada Tempo, Senin, 16 Januari 2017.
Baca juga:
Peneliti: Intoleransi Yogyakarta Semakin Menguat
Suhadi menyebut praktek intoleransi menjadi semacam peringatan atau alarm di Yogyakarta. Tarafnya adalah mengkhawatirkan. Mereka mendapat angin segar karena aparat negara berulang kali tidak memberikan sanksi yang tegas. “Kelompok intoleran mendapat panggung,” kata Suhadi.
Di Yogyakarta sejak awal 1990-an banyak organisasi maupun komunitas dengan orientasi politik, kultur, dan agama. Beberapa tahun terakhir, praktek intoleransi semakin banyak terjadi. Penolakan Camat di Pajangan menurut dia sangat penting. Bila Bupati Bantul mengganti Camat Pajangan tanpa alasan yang jelas atau hanya menuruti kelompok intoleran, maka akan menjadi preseden buruk.
Ia mendorong Bupati Bantul untuk menjelaskan kepada masyarakat ihwal pengangkatan Camat Pajangan itu sebagai hak preoregatif bupati. Di Indonesia ada banyak praktek keberagaman yang bisa dijadikan contoh. Misalnya di Nias, Nusa Tenggara Timur yang mayoritas Kristiani dipimpin seorang camat yang Muslim.
SHINTA MAHARANI