TEMPO.CO, Jakarta - Direktur The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Al Araf mengatakan pihaknya mendesak Presiden Joko Widodo mengevaluasi program bela negara yang dilakukan Kementerian Pertahanan. “Bila Presiden tidak melakukan evaluasi menyeluruh atas program bela negara yang saat ini berjalan, program itu akan selalu menimbulkan kontroversi dan dapat berdampak negatif,” kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa, 10 Januari 2017.
Al Araf mencontohkan pelatihan bela negara di wilayah Koramil Cipanas yang diselenggarakan Komando Distrik Militer (Kodim) Lebak Banten. Ia menilai pelatihan bela negara tersebut telah memicu kontroversi di publik. Akibatnya, Panglima Kodam (Pangdam) III Siliwangi Mayor Jenderal Muhammad Herindra mencopot jabatan Komandan Kodim (Dandim) Lebak Banten Letnan Kolonel Czi Ubaidilah karena dinilai melakukan latihan bela negara tanpa prosedur internal TNI.
Baca juga:
Imparsial: Program Bela Negara Tidak Sesuai Undang-Undang
Menurut Al Araf, program bela negara yang selama ini berjalan belum memiliki konsep, tujuan, dan landasan hukum yang jelas. Sejak awal program itu diluncurkan telah mengundang banyak kritik di publik karena program ini tidak dilandasi regulasi yang jelas. Ia menilai target pelatihan bela negara tidak memiliki ukuran dan prasyarat yang jelas. Sehingga, terkadang program itu menyasar pada kelompok paramiliter yang berdimensi militeristis.
Al Araf menambahkan, program bela negara yang dijalankan Kementerian Pertahanan tidak berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 9. Menurut dia, apabila merujuk pasal tersebut, program bela negara baru dapat dilakukan bila regulasinya telah tersedia. Tidak adanya regulasi yang jelas justru akan membuka ruang potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam pelaksanaan program bela negara.
Al Araf menceritakan, dalam sejarah Indonesia, rezim terkadang memobilisasi dan menggunakan kelompok-kelompok sipil terlatih untuk tujuan-tujuan politik pemerintah. Ujungnya akan terjadi konflik dan kekerasan. Ia mencermati pelatihan-pelatihan bagi paramiliter yang memunculkan milisi di Timor Leste, Aceh, Papua, atau Pam Swakarsa pada masa awal reformasi. Menurut dia, kelompok-kelompok tersebut sering disalahgunakan untuk menghadapi kelompok-kelompok masyarakat yang kritis terhadap kekuasaan dengan cara-cara kekerasan.
“Ketiadaan konsep bela negara yang diatur melalui regulasi yang jelas dapat membuka ruang terjadinya pembentukan kelompok paramiliter dan milisi yang dapat mengancam kehidupan demokrasi,” ujar Al Araf.
Menurut dia, konsep bela negara saat ini bisa diwujudkan dengan terus merawat kebhinnekaan dan kemajemukan di Indonesia. Karena itu, program bela negara yang penting untuk dilakukan adalah membangun kesadaran keindonesiaan itu sendiri. Misalnya, melalui pendidikan kewarganegaraan secara berkesinambungan untuk membangun aspek kognitif. Namun ia menilai pembangunan aspek tersebut lebih tepat dilakukan Kementerian Pendidikan dibanding Kementerian Pertahanan.
DANANG FIRMANTO