TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi bereaksi atas terbitnya telegram Kepolisian Republik Indonesia mengenai penggeledahan anggota kepolisian yang harus dilaporkan kepada Kepala Polri. Mereka mendesak Presiden Joko Widodo meminta klarifikasi Kapolri Jenderal Tito Karnavian soal telegram tersebut.
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi juga mendesak Kapolri membatalkan surat telegram atau edaran Kapolri bernomor KS/BP-211/XII/2016/DIVPROPAM itu. "Hal ini perlu dilakukan agar tetap menempatkan Polri sebagai institusi yang pro-pemberantasan korupsi dan tidak terkesan berupaya melindungi anggotanya yang patut diduga terlibat dalam tindak pidana, termasuk korupsi," kata Lalola Easter dari Indonesia Corruption Watch melalui pernyataan tertulis, Senin, 14 Desember 2016.
Lola mengatakan surat telegram yang tidak pro-pemberantasan korupsi itu, jika tidak dibatalkan, dikhawatirkan akan menular atau merembet ke lembaga lain. Lembaga-lembaga lain, seperti kejaksaan, TNI, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Konstitusi, dan lembaga atau komisi negara lainnya, sangat mungkin akan membuat aturan serupa. Mereka akan ikut mengharuskan adanya izin dari pimpinan lembaga sebelum diperiksa atau digeledah oleh lembaga penegak hukum.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan telegram itu bersifat internal, ditujukan kepada anggota kepolisian. Surat edaran itu, kata dia, biasa diberikan oleh satuan tingkat tinggi, yakni Markas Besar Polri, kepada satuan di bawahnya.
"Surat ini diberikan atas hubungan antara atasan dan bawahan. Bila bawahan menerima satu tindakan hukum, dia harus memberi tahu kepada atasannya," ujar Martin di kantornya, Jakarta Selatan, Senin, 19 Desember 2016.
Martin menjelaskan, Polri tidak bisa berdiri sendiri dan tidak bisa tanpa ada laporan pemberitahuan. Nantinya, kata dia, laporan-laporan tentang polisi yang beperkara akan dibuatkan data mingguan, bulanan, hingga tahunan. "Laporan-laporan ini dikumpulkan dan akan kami rilis pada akhir tahun," ucap Martin.
Rilis itu, kata dia, antara lain, berisi siapa saja personel Polri yang melakukan pelanggaran hukum, berapa orang yang diproses secara pidana dan diproses secara disiplin, serta kode etik. Dia menganggap tidak ada yang aneh dengan isi telegram itu.
Telegram Polri bertanggal 14 Desember 2016 memberi tahu kepada jajaran polisi, jika ada lembaga lain yang ingin menggeledah dan menyita barang anggota kepolisian yang beperkara, harus seizin Kepala Polri. Disebutkan pula bahwa lembaga lain itu misalnya kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan pengadilan.
Hari ini, Martinus menjelaskan bahwa polisi yang akan digeledah itulah yang diminta melaporkan ke atasannya, bukan KPK, pengadilan, atau kejaksaan.
REZKI ALVIONITASARI