TEMPO.CO, Pidie Jaya- Bangunan pasar Ikan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, tegak berdiri di antara bangunan lain di sekitarnya yang porak poranda dihajar gempa sekuat 6,5 Skala Richter, pada Rabu lalu.
Saat didatangi Tempo pada Sabtu, 10 Desember 2016, nyaris tak ada aktivitas di bawah atap pasar ikan itu. Hanya Muhammad Yakub, 41 tahun, yang tampak menjajakan udang dan beberapa jenis ikan jualannya. "Ini sepi karena tak ada yang pergi melaut, bukan karena takut rubuh waktu jualan," ujarnya.
Yakub menuturkan, pasar ikan berukuran sekitar 30 x12 meter persegi itu tak selemah bangunan lain yang tergabung di komplek pasar Meureudu. Yakub tak salah. Meski sedikit kotor dan lembab, pasar ikan itu utuh, berbeda dengan pasar sayur di seberangnya yang kini rata dengan tanah, atau deretan rumah toko yang miring dengan atap amblas.
"Ini dikasih (disumbangkan) orang Jerman setelah tsunami 2004. Sekarang mau gempa, mau tsunami lagi, tak bisa rusak," tutur Yakub sambil melayani pembelinya.
Baca:
Gempa Aceh: Pengungsi Butuh Bantuan Tenda
Gempa Aceh: Bayi Mulai Terserang Diare
Pasca-Gempa, Pidie Jaya Krisis Air Bersih
Pasar ikan yang menurut Yakub dulunya terbuat dari kayu itu, sekarang dikelilingi pilar beton dengan enam meja marmer panjang di tengah aulanya. "Pasarnya sudah ada sejak saya kecil. Setelah rusak karena tsunami, dibangun ulang," ujar Yakub yang merupakan warga asli Kecamatan Ulim, Pidie Jaya itu.
Sumbangan perusahaan Jerman itu, menurut Yakub adalah keuntungan Pemerintah Daerah Pidie Jaya. "Dulu saat dibangun, Pidie belum jadi dua. Sekarang kan sudah Pidie Jaya dan Pidie, ini (pasar ikan) masuk Pidie Jaya."
Keterangannya sejalan dengan apa yang tercantum pada sebuah panel, di pintu masuk Pasar Ikan Meureudu itu. Di situ tercantum nama perusahaan CHF International sebagai penyumbang bangunan rancangan tahun 2006 itu. Ada pula tanda tangan mantan Bupati Pidie Mirza Ismail yang meresmikannya pada 12 April 2007.
Muliadi, pedagang beras yang kiosnya berada di seberang Pasar Ikan Meureudu tak menampik cerita Yakub. "Kios saya ini umurnya setahun, pasar sayur juga baru direnovasi, tapi rusak semua (kena efek gempa), padahal punya pemda juga," katanya pada Tempo.
Muliadi pun sudah berdagang. Sebagian dari sembako jualannya dikemas ke dalam kardus-kardus. "Untuk dibawa pulang," kata Muliadi. Yang masih dijajakannya adalah beberapa jenis rempah dan sisa telur yang tak pecah.
Deretan toko di samping kios Muliadi pun mulai buka dengan jenis jualan serupa. "Baru hari ini (Sabtu) saya buka. Ada kok pembeli," kata dia.
Meski dalam situasi bencana, Muliadi menyebut warga Pidie Jaya masih mencari bahan makanan sendiri, termasuk hasil laut di pasar ikan. "Orang banyak ngungsi, tapi kan bosan sama makanan di posko. Jadi ke pasar, masak sendiri."
Dari pantauan Tempo, aktivitas Pasar Meururdu belum pulih. Jual beli hanya terlihat di kios dengan kerusakan seperti keretakan di dinding dan lantai. Sejumlah ruko dan bangunan bertingkat di komplek pasar tesebut rusak total dan masih disisir oleh tim gabungan Badan SAR Nasional hingga Sabtu siang, 10 Desember.
Seorang anggota petugas gabungan, saat ditemui di pelataran Pasar Meureudeu mengatakan hari keempat tanggap darurat gempa di Pidie Jaya dipakai untuk sterilisasi guna memastikan tak ada sisa korban di bawah reruntuhan.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga berita ini ditulis, jumlah korban meninggal sebanyak 101 orang. Dari jumlah itu, baru 92 jenazah yang teridentifikasi. Adapun korban luka yang sebanyak 857. Total pengungsi yang sudah terdata mencapai 45.329 jiwa. Mereka tersebar di 64 posko yang ada di Pidie Jaya dan kabupaten sekitarnya.
YOHANES PASKALIS