TEMPO.CO, Yogyakarta - Mantan juru kunci Gunung Merapi Raden Ngabehi Surakso Hargo atau yang lebih dikenal dengan nama Mbah Maridjan, ternyata pernah menentang pembangunan sabo dam di kawasan lereng gunung api itu. Sabo dam adalah tanggul dan bak yang akan menampung lungsuran material dari mulut gunung.
Mbah Maridjan menilai sabo dam menghalangi aliran material Merapi yang turun saat erupsi terjadi. Hal tersebut diungkapkan penulis buku Melacak Mitos Merapi: Peka Bencana, Kritis Terhadap Kearifan Lokal, Ibnu Subiyanto, dalam acara diskusi Refleksi Letusan Merapi 2006 dan 2010 di Bambino’s Café Yogyakarta, Jumat, 28 Oktober 2016.
“Merapi kalau mau membuat jalan akan jalan sendiri. Tidak perlu ditutupi dam. Itu harus dibongkar,” kata Ibnu menirukan perkataan Mbah Maridjan kala itu. Ibnu adalah mantan Bupati Sleman. Mbah Maridjan meninggal pada Oktober 2010, saat Gunung Merapi meletus.
Saat itu, Ibnu bertemu Mbah Maridjan ketika meninjau proyek di Merapi sekitar 2001. Persoalannya, negara akan rugi apabila hasil proyek pemerintah pusat itu dibongkar.
Protes Mbah Maridjan itu pula yang menjadi alasan Ibnu menulis buku tentang Merapi yang diterbitkan Galang Press itu. Penulisan buku dilakukan dengan tulis tangan ketika Ibnu berada di dalam penjara di Lembaga Pemasyarakatan Sleman di Cebongan.
Ibnu ditahan karena terlibat kasus korupsi buku di Sleman dan divonis empat tahun penjara pada 2010. “Saya heran, mengapa Mbah Maridjan menghalangi? Saya mau bongkar mitos itu,” kata Ibnu.
Menjelang erupsi Merapi pada 2006, Ibnu pun pernah bertemu seorang kakek tua di Gunung Kendhil. Dia menanyakan ihwal wedhus gembel yang menjadi karakter tiap kali Merapi erupsi. “Simbah itu bilang, kalau di puncak itu kelihatan jengger (seperti daging warna merah di kepala ayam jago), berarti ada air panas (lahar),” ujar Ibnu.
Perkataan laki-laki tua yang tak kasat mata itu pun dicoba dibuktikan. Ibnu melihat bahwa setiap kali wedhus gembel atau awan panas akan turun, maka diawali dengan turunnya lahar panas berwarna merah dari puncak Merapi. Hal itu menjadi penanda bagi ilmuwan dan masyarakat untuk waspada terhadap erupsi gunung api aktif tersebut.
Dari mitos-mitos yang dibangun masyarakat sekitar lereng Merapi itu, Ibnu menyimpulkan bahwa mitos adalah aturan main yang dibangun nenek moyang atas kejadian masa lalu. Pada dasarnya, mitos pun dibangun secara ilmiah karena berdasarkan pengalaman empiris. “Mitos yang menjadi regulasi itu dibuat karena masyarakat bodoh. Susah diberi pemahaman,” kata Ibnu.
Mantan Kepala Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Subandriyo pun tidak menampik supranatural menjadi salah satu pendekatan untuk proses mitigasi bencana, selain pendekatan keilmuan. Supranatural memahami fenomena alam terjadi karena ada aktor yang menggerakkan.
Sedangkan keilmuan melihat alam mengalami proses natural yang digerakkan hukum alam. “Dua pendekatan itu mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk menyelamatkan manusia dari ancaman bencana. Bukan masalah percaya tak percaya ,” kata Subandriyo.
Sebagai ilmuwan, Subandriyo tetap menggunakan pendekatan keilmuan dalam merumuskan kebijakan dan mengambil keputusan dalam mitigasi bencana. Meskipun, pengalaman supranatural tidak menutup kemungkinan juga dialami. “Saya harus konsisten dengan kaidah ilmu alam. Kalau ilmu itu salah, bisa dikaji ulang,” kata Subandriyo.
PITO AGUSTIN RUDIANA