TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri Institut Otonomi Daerah, Prof Djohermansyah Djohan, mengatakan 80 persen daerah otonomi baru masih membebani pemerintah pusat. Hanya 20 persen yang berhasil. Ini berdasarkan jumlah 223 daerah otonomi baru pada satu dekade terakhir.
"Otonomi itu mengurusi dan membiayai rumah tangga sendiri, kenyataan sekitar 80 persen masih menyusu dari pusat," kata Djohermansyah dalam diskusi Perspektif Indonesia, di Gado-Gado Boplo, Jakarta, Sabtu 8 Oktober 2016.
Beberapa parameter keberhasilan, kata dia, dilihat dari beberapa faktor seperti pelayanan publik yang tidak bertambah dan kesejahteraan tidak meningkat. "Ini dibandingkan dengan saat bergabung dengan daerah induknya," kata Djohermansyah, mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Daerah merekomendasikan sekitar 173 kabupaten/kota baru untuk dimekarkan. Alasannya, untuk mempercepat pemerataan pembangunan di daerah. Namun, pemerintah belum bisa meloloskan permintaan tersebut karena kondisi perekonomian negara belum bagus.
Djohermansyah menilai banyak daerah otonomi baru yang tidak menggunakan anggaran secara optimal. "Sebanyak 90 persen dari dana transfer digunakan untuk belanja pegawai," katanya. Antara lain gaji, perjalanan dinas, rapat, dan lainnya.
Sisanya, 10 persen dana transfer digunakan untuk belanja modal sehingga menimbulkan ruang fiskal yang begitu sempit.
Djohermansyah memastikan pemerintah bakal ketat dalam seleksi daerah yang mengajukan pemekaran. "Hanya kalau ada kemampuan dan potensi yang dimekarkan. Bukan hanya semangat tapi tanpa kompetensi menjadi daerah otonom," katanya.
ARKHELAUS WISNU