TEMPO.CO, Probolinggo - Keluarga almarhum Abdul Gani, 43 tahun, salah seorang korban pembunuhan yang didalangi Dimas Kanjeng Taat Pribadi, menuntut Taat dihukum setimpal sesuai perbuatannya.
“Pokoknya hukum seperti yang dialami adik saya, bagaimana sakitnya dia (disiksa) sampai meninggal dunia,” kata kakak Gani, Aswati, 46 tahun, saat ditemui di kampung halaman Gani, Desa Krampilan, Kecamatan Besuk, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Jumat, 30 September 2016.
Gani adalah anak ketiga dari lima bersaudara dari suami-istri, Sakur dan Nuryati. Kondisi psikis Sakur dan Nuryati labil sejak Gani ditemukan tewas dan jadi korban pembunuhan. Pada leher Gani yang ditemukan tewas di Wonogiri, Jawa Tengah, April 2016, terdapat bekas jeratan tali.
Aswati mengatakan, hingga ditemukan sudah terbunuh, Gani tidak begitu banyak bercerita tentang masalahnya dengan Taat. Namun ada perkataan Gani yang menandakan ia dalam masalah. “Maju kena mundur kena, begitu katanya,” tutur Aswati menirukan perkataan Gani.
Salah seorang keponakan Gani mengungkapkan ucapan terakhir Gani sebelum ditemukan tewas. “Terakhir mengatakan akan melakukan pertemuan dengan Kanjeng (Taat Pribadi) di padepokan,” ujar remaja yang enggan disebut namanya itu. Setelah itu, Gani tak diketahui kabarnya dan ditemukan tewas.
Taat Pribadi, 46 tahun, disangka jadi dalang pembunuhan dua orang bekas anak buahnya, Abdul Gani dan Ismail Hidayah. Gani dan Ismail termasuk orang yang membantu Taat selama menjalankan aktivitas Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang berdiri sejak 2007.
Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi berlokasi di perbatasan Desa Wangkal dan Desa Gadingwetan, Kecamatan Gading, Probolinggo, Jawa Timur. Taat dan padepokan yang dipimpinnya melakukan praktek penipuan dengan modus penggandaan uang secara gaib.
Saat ini Taat Pribadi sedang menjalani pemeriksaan di Kepolisian Daerah Jawa Timur. Para pelaku pembunuhan yang menjalankan perintah Taat juga sudah ditetapkan sebagai tersangka.
ISHOMUDDIN