TEMPO.CO, Sigit - Banjir bandang yang menewaskan 26 warga Kabupaten Garut, Jawa Barat, pada Selasa, 20 September 2016, diduga karena alih fungsi hutan. Perubahan itu terjadi di kawasan hulu Sungai Cimanuk tepatnya di kawasan Kecamatan Cisurupan, Cigedug dan Cikajang.
Menurut Wakil Bupati Garut, Helmi Budiman, alih fungsi lahan itu diakibatkan karena program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) tidak sesuai dengan yang diharapkan. Banyak diantara masyarakat yang tidak menjaga hutan dengan baik. “Kita sudah lama memberikan peringatan kepada Perhutani dan BKSDA tentang kondisi hutan akibat program PHBM yang tidak sesuai,” ujarnya.
Peringatan itu dilayangkan pemerintah daerah setelah meninjau langsung kondisi lapangan di sekitar wilayah hulu Sungai Cimanuk. Bahkan pemerintah juga telah meminta Perhutani dan BKSDA untuk tetap menjaga kondisi hutan. “Garut ini memerlukan resapan air yang banyak karena banyak wilayah pertanian,” ujar Helmi.
Selain alih fungsi lahan, penyebab banjir juga diakibatkan oleh curah hujan yang cukup tinggi. Hujan deras mengguyur wilayah Garut pada Senin dan Selasa.
Ungkapan serupa juga disampaikan Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat, Anang Sudarna, di sela peninjauan lokasi banjir bandang di Kampung Cimacan, Desa Haurpanggung, Kecamatan Tarogong Kidul, Kamis, 22 September 2016.
Menurut Anang, kondisi hutan yang gundul di kawasan hulu sungai menyebabkan arus air dari hulu ke hilir mengalir lebih cepat. Bahkan dalam waktu dua jam, air Sungai Cimanuk sudah meluap di kawasan Tarogong Kidul. Padahal jarak antara kawasan hulu dan hilir mencapai lebih dari 10 kilometer. “Kalau vegetasinya benar, air itu akan lama sampai ke sungai,” ujarnya.
Bahkan berdasarkan citra satelit, kawasan Gunung Cikurai, Guntur dan Darajat berwarna merah. Kondisi itu menandakan kawasan tersebut gundul dan bukan vegetasi permanen. "Kawasan gundul itu mungkin telah digunakan lahan pertanian, kawasan wisata, bangunan, hotel dan yang lainnya, ujar Anang.
Anang menyebutkan Sungai Cimanuk adalah sungai yang Koefisien Regim Sungai (KRS)-nya paling buruk. Bukan hanya se-Pulau Jawa, bahkan terburuk se Indonesia. Ketika musim kemarau, KRS Cimanuk nilainya 1, namun saat musim hujan nilainya langsung melonjak menjadi 771. Ini menunjukan kondisinya sudah sangat tak normal.
KRS adalah perbandingan debit air tertinggi dengan debit air terendah dalam satu periode. Biasanya pada saat musim hujan tertinggi dan musim kemarau terendah. KRS yang baik mempunyai nilai 50 ke bawah. KRS kategori sedang nilainya 50 - 120 dan KRS kategori buruk nilainya 120 ke atas. “Kondisi ini jangan dibiarkan, bisa bahaya,” ujar Anang.
SIGIT ZULMUNIR