TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan jumlah tersangka dalam kerusuhan di Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, bertambah menjadi 19 orang. Senin lalu, jumlah tersangka baru 12 orang.
Sebanyak 11 orang di antaranya adalah tersangka perusakan, dan sisanya tersangka penjarah. "Tujuh orang yang baru ditetapkan tersangka itu terlibat dalam kasus perusakan," kata Martin di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Kamis, 4 Agustus 2016.
Polisi tidak menahan semua tersangka karena beberapa masih anak di bawah umur. Selain itu, Martin menambahkan, 14 di antaranya saat ini masih menjalani pemeriksaan kesehatan. "Empat orang, urine-nya mengandung amfetamin dan ganja," ujarnya.
Menurut Martin, hasil pemeriksaan akan menjadi bahan bagi polisi untuk pengembangan kasus, yakni bagaimana para tersangka melakukan tindakan pidana saat dipengaruhi obat-obatan.
Pada saat kerusuhan di Tanjungbalai, Jumat malam, 29 Juli lalu, massa membakar barang-barang di dua wihara dan lima kelenteng. Kericuhan itu diduga terjadi karena masyarakat salah paham dengan perkataan seseorang dari etnis Cina. Padahal sebelumnya kasus salah paham ini sudah diselesaikan secara lokal oleh kedua pihak.
Martin menjelaskan, ada dua cara menyelesaikan konflik di Tanjungbalai, yaitu pemulihan dan penegakan hukum. Upaya pemulihan, kata dia, terbagi atas rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Upaya rekonsiliasi, misalnya, diadakan pertemuan petugas keamanan dengan lapisan masyarakat. Sedangkan rekonstruksi seperti merapikan dan membersihkan sisa-sisa kerusuhan di wihara dan kelenteng itu. Lalu, merencanakan pembangunan kembali wihara dan kelenteng secara bersama-sama.
Dalam upaya penegakan hukum, polisi menelusuri jejak ujaran kebencian di media sosial yang memantik kejadian ini. Sebelum kejadian tersebut, tersiar pesan lewat media sosial yang menyebutkan larangan memperdengarkan azan di sebuah masjid. Pesan berantai itulah yang akhirnya menyulut kemarahan umat Islam di Tanjungbalai.
"Kasus IT ini kita harus tahu siapa yang memulainya, harus perlu pendalaman," kata Martin. Satu akun media sosial Facebook kini dipelajari polisi, tapi Martin tak menyebut nama akun itu.
REZKI ALVIONITASARI