TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat untuk Pemilu yang Demokratis (KMPD) menyangsikan rencana pengucuran dana Rp 1 triliun untuk partai politik dapat menekan korupsi, khususnya di kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
“Ini alasan klasik, meminimalkan korupsi. Jaminannya apa?” ujar Yenny Sucipto, Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparan dalam acara diskusi Koalisi Masyarakat untuk Pemilu yang Demokratis (KMPD) di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 4 Agustus 2016. Ia menekankan, uang negara merupakan instrumen untuk menyejahterakan rakyat, bukan untuk partai politik.
Baca Juga:
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tahun lalu mengusulkan pemberian subsidi Rp 1 triliun untuk tiap partai politik yang ada per tahun. Tujuannya agar partai politik tidak kekurangan dana dan berakhir dengan korupsi.
Menurut Koordinator Komite Pemilih Untuk Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow, kesangsiannya beralasan. “Orang yang tertangkap korupsi enggak pernah bilang dia korupsi karena parpol butuh uang,” ujarnya. Ia menilai korupsi itu untuk pribadi dan partai politik umumnya angkat tangan jika ada anggotanya yang terbukti korupsi. “Alasan dan fakta tidak sinkron.”
Senada dengan Yenny dan Jeirry, pendiri Lingkar Madani (Lima), Ray Rangkuti, menegaskan bahwa wacana ini tidak adil karena didominasi keinginan partai politik menambah dana untuk kepentingan sendiri. “Jadi yang salah rakyat karena tidak memberi uang banyak sehingga partai politik jadi korup?” ujarnya.
Ray pun balik mempertanyakan sikap partai politik yang seolah-olah menjadi korban akibat sedikitnya dana. “Mereka teriak-teriak karena sedikit uang lalu akhirnya korupsi dan mengusung calon gubernur yang mantan koruptor? Bukannya rakyat yang jadi korban?” tuturnya.
Ray kemudian mencontohkan kebijakan Sri Mulyani menaikkan kesejahteraan pegawai pajak dan keuangan yang gagal meminimalkan korupsi di institusi tersebut. “Hasilnya? Korupsi enggak berkurang atau malah makin naik,” katanya.
IQRA ARDINI | MS