TEMPO.CO, Jember - Waktu menjelang siang, ketika M Dahlan sedang mengawasi seorang pekerjanya yang tengah mengoperasikan mesin cultivator di sepetak lahan yang baru ditanami tembakau, Sabtu itu, 30 Juli 2016 di sebuah desa di Kecamatan Sukowono, Kabupaten Jember. Pria 47 tahun itu kini sedang mengelola lahan tembakau seluas 4 hektare, yang 0,8 hektare diantaranya adalah lahan miliknya sendiri. Sisanya dia menyewa lahan orang lain.
Dahlan adalah salah satu petani tembakau Kasturi di desa tersebut. Badai La Nina yang mengakibatkan musim hujan menjadi molor ini membuatnya sedikit memundurkan jadwalnya menanam tembakau. "Itu karena saran dari tenaga teknis penyuluh lapangan karena mengingat berdasarkan perkiraan cuaca, hujan masih kerap turun," kata Dahlal. Dia mengatakan setahun terakhir ini merupakan ujian para petani tembakau di Jember.
Dampak abu vulkanis hasil erupsi Gunung Raung pada 2015 lalu membuat kualitas tembakau mereka anjlok. "Abu Raung itu mempengaruhi kualitas tembakau karena debunya masuk ke dalam pori-pori daun. Padahal untuk produktitasnya tidak menjadi masalah," kata Dahlal ditemui TEMPO di lahan tembakau miliknya. Dalam kondisi kualitas tembakau jeblok akibat debu Raung, banyak petani yang rugi karena tembakaunya tidak ada yang mau untuk membeli.
Hanya petani yang sudah meneken kontrak atau bermitra dengan perusahaan pemasok tembakau untuk pabrik rokok yang masih terjamin pasarnya. "Saya masuk kemitraan sudah 4 tahun. Tembakau hasil panen sudah ada yang menampung," kata Dahlal. Karena itu, menanam tembakau tidak lagi membuatnya galau. "Kalau dulu masih liar. Setelah panen masih cari pasar untuk menjual tembakau," katanya.
Dahlal mengaku, modal yang dikeluarkan untuk menanam tembakau setiap hektare bisa mencapai Rp 30 hingga Rp 35 juta. "Tahun kemarin perhektare dapat Rp 52 juta (pendapatan kotor)," kata Dahlal. Hal yang sama juga dirasakan para petani tembakau di Desa Pakusari yang sebagian besar juga menjalin kemitraan dengan perusahaan pemasok tembakau untuk pabrik rokok.
Kepala Desa Pakusari, Misjo saat ditemui di Balai Desa Pakusari mengatakan kemitraan petani tembakau sudah dijalin sejak 2012. "Dengan kemitraan, petani mendapatkan pendampingan dalam penanaman tembakau," kata Misjo. Petani menerima sosialisasi dan penyuluhan serta bimbingan penyuluh lapangan. Dan yang paling penting ada pihak yang bisa bertanggung jawab atas hasil panen.
Misjo mengatakan banyak perusahaan yang tidak mau menampung tembakau yang terdampak abu Gunung Raung. Karena itu, dengan kemitraan, ada jaminan tembakau masih bisa tertampung kendati terkena abu Raung. "Meskipun terkena dampak debu vulkanik Gunung Raung, masih ada perusahaan yang bertanggung jawab," kata Imam Hidayat, petani tembakau di Desa Pakusari ditemui di Balai Desa, Sabtu akhir pekan kemarin.
Sebelum menjalin kemitraan, para petani masih secara individu. "Sehingga tidak mempunyai kepastian pasar," kata Ahmad Mufid, petani tembakau lainnya di Desa Pakusari. Dulu penjualan tembakau dilakukan di rumah. "Ada tengkulak yang datang ke rumah untuk membeli tembakau," katanya. Dari tengkulak kecil, tembakau kemudian ditampung ke tengkulak besar untuk kemudian dijual ke gudang. "Sengan kemitraan bisa memutus mata rantai perdagangan sampai dua kali," kata Suryono, petani tembakau lainnya dari Desa Gumuksari, Kecamatan Kalisat, Kabupaten Jember.
Sementara itu, Manager PT Sadana Arif Nusa, Eko Harianto selaku perusahaan penyuplai tembakau untuk pabrik rokok PT HM Sampoerna mengatakan pihaknya saat ini menangani sekitar 1000-an petani tembakau di Kabupaten Jember dengan luas lahan sekitar 1600 hektare dengan hasil tembakau sekitar 1,6 ton tembakau kering. "Kemitraan tembakau Kasturi," ujar Eko ditemui Tempo di lahan pertanian tembakau di Kecamatan Sukowono, Kabupaten Jember.
Sementara itu, Heaf of Regulatory Affairs, International Trade & Communications PT HM Sampoerna Tbk mengatakan saat ini ada 27 ribu petani tembakau yang bergabung dalam kemitraan dengan program Integrated Production System (IPS -Sistem Produksi Terintegrasi) dengan luasan lahan sekitar 27 ribu hektare. Selain di Jember, program IPS juga diterapkan di beberapa daerah penghasil tembakau di Lombok, Wonogiri, Malang, Rembang, Blitar dan Lumajang.
Elvira mengatakan program IPS dapat membantu meningkatkan kesejahteraan petani tembakau di Indonesia. IPS, kata Elvira dijalankan melalui kontrak kerjasama. "Petani mendapatkan pendampingan pertanian, akses permodalan serta jaminan akses pasar yang sangat diperlukan petani," kata Elvira menambahkan.
DAVID PRIYASIDHARTA